Jumat, 27 Juli 2012

Perahu Itu Bernama FoSEI


Bismillahirrahmaanirrahim…

Malam ini, tiga minggu sudah dari waktu ditetapkannya FoSEI FE UMS sebagai KSEI terbaik Se-Indonesia, saya baru bisa memberikan respon saya sekarang. Sebuah tamparan maha-dahsyat atas ditetapkannya KSEI ini sebagai KSEI terbaik. Keheranan muncul, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak atas kabar yang diterima tanggal 7 juli malam hari itu. Seakan pertanda bahwa semua bertanya, kok bisa ya? Ah salah nyeleksi tuh, ah kebetulan aja tu, dan yang lebih parah lagi kayaknya gak mungkin deh padahal sudah jelas-jelas vandel the best KSEI siap dibawa pulang.

Kenapa saya mengatakan penobatan itu sebagai tamparan maha-dahsyat? 

Apresiasi patut kita berikan kepada teman-teman presnas dan depnas atas dinobatkannya KSEI ini sebagai the best KSEI. Namun sejujurnya, jikalau memang penilaian itu obyektif, toh itu bukanlah tujuan yang ingin diraih KSEI ini. Karena tentu saja tak satupun visi KSEI ini menyebut kata become the best…

Buat apa disebut tamparan maha-dahsyat jika tak bisa dijadikan bahan muhasabah. Di lain sisi, penilaian manusia terkadang tak sesuai kenyataan.  Jika memang demikian, maka KSEI ini pantas bersyukur karena Alloh masih berkenan untuk menutupi banyak kecacatan yang ada pada dirinya.

Benar perkataan salah seorang three musketeers yang ia tulis sebagai closing statement update berita di blog Fosei. “Semoga ini sebagai Muhasabah buat FoSEI untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Menyandang sebagai KSEI terbaik bukanlah sebuah kegembiraan semata. FoSEI harus bisa Istiqomah untuk mendakwahkan dan mengkaji EKonomi Islam”. Closing yang cukup bijak nampaknya, namun saya malah bertanya, apakah kita bahagia dengan hasil itu? Atau biasa saja? Atau malah tak acuh dengan semua ini?

Perjalanan selama 6 bulan kepengurusan menjalankan bahtera FoSEI bukanlah hal yang mudah seperti mudahnya memoleskan bedak dan gincu di pipi dan di bibir. Visi dan misi yang telah tertulis tak hanya mudah untuk ditulis, tapi juga mudah untuk dilalaikan dan bahkan tak pernah diresapi. Ada begitu banyak pertanyaan yang sering muncul dalam benak pikiran masing-masing, kita ini siapa? mau ngapain? Dan mau kemana? Meski visi dan misi sudah terlalu sering dikemukakan di forum, pertanyaan itu hampir sering menghantui perasaan individu yang bahkan terkadang membuat ragu untuk melangkah.

Organisasi layaknya perahu yang berlayar di samudera kehidupan. Jika saya boleh menyebut organisasi ini adalah perahu dakwah, maka sayalah orang pertama yang paling bangga dan bahagia berada sekaligus menjadi motor penggerak perahu ini. Betapa bangganya saya menjadi salah satu agen dakwah meski ilmu baru setinggi betis. Meski sering dianggap sebagai ‘ustadzah dholalah’ saya tak terlalu peduli itu. Kebahagiaan tetap bergema sebagai bagian dari agen dakwah. Pendakwah yang selalu merindukan cahaya Alloh hadir dalam dirinya dan perahunya. Pengemban dakwah yang memilih jalan terang disisiNya, bermandikan cahayaNya meski penuh onak dan duri. Bukan jalan gelap yang begitu fana padahal hanya sekejap mata. Eksistensi perahu ini jika demikian begitu agung di sisi Alloh, karena pengemban dakwah adalah penyambung nafas dunia, menghindarkan perahu dan lingkungan sekitarnya dari kerusakan dan sehabisnya. Perahu ini adalah perahu dakwah, maka jelaslah sudah arahnya, perahu ini akan terus berlayar di samudera kehidupan untuk berdakwah ke arah ridha Allah Ta’ala.

Namun, jika status sebagai perahu dakwah masih berat adanya, nampaknya perlulah ada muhasabah sejenak terutama bagi si nahkoda. Embel-embel “Islam” di belakang nama perahu ini barangkali baru sekedar nama. Apalah artinya ada kata “Islam” yang begitu suci, apalah artinya dinobatkan sebagai yang terbaik, jika senyatanya perahu ini tak mampu memberikan rasa aman bagi penumpangnya. Meski nahkodanya mengaku paham akan eksistensi perahu ini, tetap itu belum ada arti jika penumpangnya tak tahu perahu jenis apa yang ditumpanginya, untuk apa perahu itu berlayar, dan akan berlabuh kemanakah perahu ini…

Mungkin bagi penumpang tak begitu penting perahu jenis apa ini sebenarnya. Jika memang demikian adanya, maka memang tidaklah terlalu penting untuk memperjelas mau kemana arahnya. Sementara cukuplah para nahkoda yang mengetahui perahu apa ini, untuk apa berlayar dan kemanakah akan berlabuh. Jika terasa begitu berat mengemban amanah dakwah di lingkungan sekitar, toh tak ada salahnya untuk terlebih dahulu berdakwah di perahu kita sendiri.

Bulan suci Ramadhan semoga menjadi awal penyucian para penumpang berikut nahkodanya menjadi mukmin sejati. Biarpun masih terlalu sulit bagi nahkoda untuk menjelaskan pada penumpang bahwa perahu ini adalah perahu dakwah yang punya visi dan misi agung, maka biarlah para nahkoda tetap terus menyampaikan apa yang lebih esensi untuk disampaikan. Kebahagiaan sejati para nahkoda adalah tatkala mereka mampu mengenalkan para penumpang dengan Pencipta samudera tempat mereka berlabuh. Menyampaikan pada mereka tentang Sang Pencipta, Illah yang berhak disembah, Sang Rabbul Izzati. Harapannya, jika memang penumpang belum merasakan nikmatnya mengemban amanah menghuni perahu dakwah,  biarlah mereka tetap bisa mengais cahayaNya, hingga semua akan berkata aku ingin kenal Dia, aku ingin belajar mendekat kepadaNya, aku ingin perbaiki diriku karenaNya, maka karena itulah aku masuk perahu ini.…Tiada kebahagiaan sejati selain bisa mengenalkan para penumpang kepada Allah Azza wa Jalla. Karena ia menyayangi semua yang berbuat demi RidhoNya. 

Innallaaha ma’ana, mari menempa diri di perahu ini semata-mata demi RidhoNya.


Dna-ku, Tak Sama Seperti Ibuku (part-2)


Betapa malangnya si Anak ketika stigma yang telah dilabelkan kepadanya adalah stigma yang destruktif yang dilontarkan oleh orang-orang yang tak punya pengetahuan tentangnya. Dengan keyakinan penuh, si Anak selalu menyangkal omongan orang-orang yang numpang lewat di depannya, bahwa ia sama saja dengan ibunya, termasuk juga dengan bapaknya, karena pepatah buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya. Dengan semangat harakiri si Anak mencoba memahami dirinya sendiri, bertanya, berharap bahwa dirinya pasti berbeda, bahkan lebih baik dari sesepuhnya.

Namun, di tengah perjalanan selalu ada-ada saja orang yang beranggapan bahwa kamu itu pemalu tho nduk, clingus, ndak percaya diri, ndak luwes dalam bergaul seperti ibumu... Rongrongan eksternal yang bertubi-tubi membuat si Anak terlarut dalam kefatalistik-pesimisti-kan yang begitu mendalam. Terkadang ia merasa dirinya hanyalah bayangan dari orangtuanya yang sedang berkaca. Karena toh Dna-ku kan sama seperti ibu bapakku..Begitu pikir si Anak. Padahal pikiran destruktif yang tercetus dalam otaknya itu, sesungguhnya hanya pikiran numpang lewat yang sama sekali tak dikehendaki hati nuraninya, karna hatinya berkata bahwa, meski Dnaku sama, tapi tidak mungkin sama plek begitu saja..

Si Anak harus banyak belajar lagi nampaknya. Memahami diri sendiri tak semudah mengenali bayangan dari pantulan cermin. Ia sesekali perlulah berpikir secara lebih ilmiah. Mungkin ini sebuah kejutan baginya? Apa kejutan itu? Asal si Anak tahu saja, Dnanya bisa berubah seiring karena banyak faktor yang membuatnya berubah. Ia tak sadar bahwa ada semacam tombol nyala dan padam yang dapat merecode struktur Dna yang diwariskan ibu bapaknya. Apa yang membuatnya demikian? 

Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi adalah faktornya. Penderita diabetes saja bisa menurunkan kadar gula dalam darahnya setelah makan, kalau ia tertawa. Tertawa yang sederhana, yang membuat hati bahagia. Tertawanya ternyata ampuh untuk mengaktifkan gen-gen yang kelak dapat membuat statusnya berubah bahwa ia bisa sembuh meski sesepuh-sesepuhnya adalah penderita diabetes. Begitu pula, saat teman si Anak menderita obesitas, kata orang karena sesepuhnya juga demikian. Namun siapa sangka si teman tersebut dengan olahraga yang teratur, mengatur pola makan yang baik, dan yang terpenting adalah yakin bahwa ia bisa kurus, maka perlahan secara otomatis hal itu akan merubah pula statusnya seakan-akan bukan lagi anggota keluarga yang menderita obesitas.

Sangat fatal ketika si Anak terus terjerembab dalam kefatalistik-pesimisti-kannya. Ia menghadapi lingkungan yang begitu heterogen, yang menuntutnya untuk selalu beradaptasi. Ia dituntut tak boleh clingus, tak boleh tak percaya diri, dan tak boleh tidak luwes dalam berpikir dan bergaulnya. Oleh siapa? Oleh lingkungannya! Maka sesekali ia tergerak untuk mengubah dirinya, menjawab semua tantangan di depannya, maka yakinlah kelak Dnanya akan berubah.

Ya, memang Dna si Anak adalah blueprint baginya, yang orang sangka akan sama dengan nenek moyangnya. Tapi, bukankah Dna hakekatnya bisa berubah karena 3 hal yaitu Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi? Kalau si Anak serius memikirkan hidupnya dengan satu paradigma yang kuat, bahwa ia punya potensi yang luar biasa, dan dalam empirisnya ia terus mengasah potensinya itu, maka buktikan saja bahwa Dna dalam dirinya bisa berubah, menjadi tak sama seperti ibunya.


Selasa, 24 April 2012

Niat Mana yang Lebih Lurus?

Ketika seorang muslim mendeklarasikan diri untuk menerima Islam sebagai satu-satunya Dien yang haq, maka konsekuensinya adalah ia harus mau menerima secara kaaffah segala bentuk ketentuan yang diatur dalam Islam. Kaaffah yang dimaksud disini adalah tidak tebang pilih. Artinya, segala aturan yang benar yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasul harus diterima dan dilaksanakan dengan ikhlas. Jadi tidak hanya aturan yang dianggap sejalan dengan keinginan saja yang diterima dan dilaksanakan, sementara aturan lain yang menurut hawa nafsu tidak membawa keuntungan ditinggalkan begitu saja.

Sejak resesi melanda perekonomian negara-negara maju, masyarakat dunia mulai mengalihkan pandangannya dari sistem ekonomi konvensional berbasis riba ke sistem ekonomi syari’ah berbasis bagi hasil dan partnership. Hal ini mulai ditandai dengan ditambahnya divisi pada lembaga perbankan di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia, dari yang semula hanya divisi konvensional bertambah menjadi divisi syari’ah. Fenomena semakin populernya istilah mudharabah, ijarah, musyarakah, rahn, wadi’ah seakan menjadi awal bangkitnya perekonomian yang menggunakan sistem islami. Para penggerak lembaga keuangan syariah, dalam hal ini para ekonom atau bankir muslim khususnya di Indonesia tentunya memiliki motivasi berbeda dengan kalangan non-muslim yang juga melirik pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang makin subur.  

Para penggerak lembaga keuangan syariah seharusnya paham betul betapa sistem ekonomi Islam itu harus dijalankan. Semangat untuk kembali pada sistem syari’ah didasari oleh niat tulus ikhlas ingin kembali pada aturan Allah, menerima, serta melaksanakannya. Berbeda dari motivasi kalangan non-muslim yang melirik kehadiran lembaga keuangan syariah dengan semata-mata pertimbangan profit dan tren. Ketahanan sistem syari’ah terhadap krisis yang melanda dunia menjadikan penduduk dunia berlomba-lomba membangun lembaga keuangan berbasis syari’ah. 

Sistem ekonomi Islam yang hakikatnya Islam itu sendiri dalam kondisi apapun harus berusaha ditegakkan oleh setiap muslim dalam hal ini para ekonom atau bangkir muslim. Sehingga ketika ada bukti historis bahwa ekonomi yang ditawarkan Islam telah mampu memberikan kejayaan selama 1.300 tahun, mulai dari zaman Abu Bakar RA (632 M) sampai zaman Abdul Majid II (1924) hanyalah menjadi sebuah konsekuensi logis atas ditegakkannya sistem syari’ah di muka bumi. 

Sebuah bangunan yang kokoh memerlukan pondasi yang kokoh pula. Tidak ada yang salah ketika masyarakat melirik sistem syari’ah akhir-akhir ini terutama sejak isu krisis global merebak. Yang perlu diluruskan adalah ketika sistem syari’ah ini dipakai hanya karena terlarut dalam euforia lembaga keuangan berbasis syariah. Lebih ironis lagi, ketika logika untung-untungan dijadikan dasar menerapkan prinsip syariah dalam praktek lembaga keuangan. Motivasi seperti ini nampaknya kurang mendukung bahkan sama sekali sekali tidak mendukung tegaknya aturan Islam di muka bumi. Oleh karena itu umat Islam perlu melihat kembali motivasinya dalam upaya menegakkan kembali kejayaan dienul Islam. Bukankah kita diperintahkan untuk menerima Islam yang kita pilih sebagai Dien secara kaaffah? Maka segala aturan syara’ mengenai aktivitas ekonomi semestinya dijalankan atas dasar menjalankan konsekuensi sebagai seorang Muslim, bukannya menginginkan profit yang maksimal maupun larut dalam euforia. Semoga kita bisa menjadi bagian dari penjayaan kembali Islam di muka bumi dengan niat yang lurus untuk mencari keridloan Allah semata.

Buku Nol Ekspresi

Seorang murid sekolah menengah pertama mengaku tak begitu suka membaca buku. Padahal ia  punya puluhan buku di rak dan sebagian di gudang rumahnya. Buku itu ia kumpulkan dari semenjak usianya masih begitu belia, enam tahun tepatnya ketika memasuki sekolah dasar kelas pertama. Ia mengaku bosan dengan semua buku yang dimilikinya. Ia menilai semua buku itu hanya terlihat bagus saat menjelang ulangan, dan tentu saja ujian sekolah. Hingga sehari-hari ia hanya mampu menatap barisan buku-buku itu tanpa ada hasrat untuk segera melahapnya.

Kata Ibu Bapak Guru seorang siswa harus gemar membaca. Membaca pangkal pandai. Namun kenyataan yang sering ditemukan pandai tak lagi menjadi sebuah pencapaian dari membaca, karena sang murid enggan menengok isi buku terkecuali di saat ia akan menghadapi ulangan. Ada apa dengan semua buku itu? Buku itu mungkin bergizi, kaya isi. Ya betul kaya isi, namun miskin ekspresi. Lihat saja mimik wajah sang murid saat membuka lembaran demi lembaran buku-buku yang miskin ekspresi itu. Matanya ingin segera beralih ke halaman lain, tak ada senyum kegembiraan, dan tentunya nol ekspresi.

Kini sang murid mulai merasa lega. Ia menemukan puluhan buku-buku yang lebih bergizi dari semua buku pelajarannya. Ia temukan banyak gambar makhluk hidup di buku yang baru saja dikenalnya. Namun sayang, buku yang terkesan seperti buku cerita itu tak dipandang baik keberadaannya oleh orang tua maupun gurunya. Mereka menganggap buku-buku cerita bergambar itu hanya membuat sang murid malas belajar. Sang murid menjadi semakin enggan membuka buku pelajaran, bahkan saat menjelang ujian. Tak ada yang menyangka bahwa buku cerita yang kaya ekspresi ini membuat sang murid lebih rajin membacanya. Tak cukup membaca, ia juga berlatih memikirkan semua gambar-gambar dan tulisan berwarna-warni yang menghiasi buku cerita di hadapannya. Ia tak ingin berpisah dari semua buku yang didambakannya itu. Ia hanya merasa takut jika buku-buku itu disita oleh orang tuanya dan digantikan dengan lebih banyak buku pelajaran yang menjemukan.

Sang murid berhasil menciptakan sebuah ikatan positif antara dirinya dan buku cerita bergambar yang baru ia temukan di toko buku. Pikirannya mulai bermain-main ke alam yang tak menentu, ke alam imajinasi yang tak terbatas. Buku cerita bergambar dan berwarna-warni telah membuat ia terus berpikir ke dunia tanpa batas. Emosi positif telah berhasil ia bangun. Emosi positif untuk membaca semua buku full eksoresi ini, buka buku-buku tanpa ekspresi yang tertumpuk di rak dan gudang rumahnya.


Rabu, 11 April 2012

Sang Khalifah dan God’s Pharmachopoeia


Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diperintahkan untuk berjalan di muka bumi yang sangat luas ini. Perintah ini bukan tanpa alasan. Sebagai wakil Allah di bumi, sang khalifah ditugaskan untuk menebar kebaikan dimanapun ia berada dan memberantas keburukan dimanapun kakinya berpijak. Tantangan untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar semakin berat dirasakan tatkala sang khalifah berada dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tantangan yang ia hadapi tak hanya di seputar sangkar emas kediamannya saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu di tiap tempat ia menghentikan langkah.

Hidup dalam dimensi waktu dan tempat berbeda, menuntut sang khalifah untuk berpikir cerdas dalam mengidentifikasi lingkungan dimana ia menghentikan langkah. Termasuk menebar kebaikan dan memberantas keburukan apa yang mesti ia laksanakan. Tak ketinggalan pula bagaimana strateginya dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Dalam mengemban amanah yang ditugaskan kepadanya, terkadang ia merasa gelisah dengan hasil yang diperolehnya. Tak satupun manusia di hadapannya mendengar apa yang disampaikannya. Untuk itulah sang khalifah terus berbenah diri. 

Khalifah juga manusia. Tak ada yang menyangka ia bisa merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Setiap kali ia rasakan  langkahnya salah, ia pun berhenti sebentar. Menengok ke kanan dan ke kiri sebelum ia memulai lagi langkahnya. Pemberhentian itu terkadang tak hanya sebentar. Ia harus juga bertarung dengan dirinya sendiri tatkala otaknya mulai menghasilkan suatu zat yang disebut dengan dopamin. Zat semacam ini dihasilkan kelenjar otaknya tatkala sang khalifah tak lagi memandang segala sesuatu secara positif. Bahkan pada tingkat terparah, ia mengatai dirinya sendiri sebagai seorang ‘fatalistik pesimistik’. Ketika si fatalistik pesimistik ini terus terlarut dalam kegelisahannya, ia tak sadar bahwa semakin banyak zat dopamin yang terakumulasi di dalam otaknya. Ia pun tak menyadari bahwa semakin jauh ia memandang segala sesuatu secara negatif, semakin meningkat kegalauannya, semakin stress pikirannya, maka akan semakin terganggu emosi, ingatan, dan aktivitas motoriknya. Bahkan dalam jangka yang sangat lama, ia akan semakin dekat pada apa yang sering dikatakan orang sebagai penyakit dementia atau alzheimer.
 
Lalu bagaimana si fatalistik pesimistik harus kembali bangkit menjadi seorang khalifah yang siap mengemban tugasnya kembali? Untuk mampu bangkit, sang khalifah haruslah terlebih dahulu menghapus segala zat-zat buruk yang telah terakumulasi di dalam otaknya. Dopamin hanya dapat dihilangkan tatkala ia telah dikuasai oleh zat rivalnya yang bernama endorfin. Zat macam ini secara alamiah akan dihasilkan kelenjar otak tatkala ia memandang kehidupannya dengan positif. Endorfin akan membuat dendrit-dendrit saraf otak sang khalifah menjadi saling terhubung. Dan ini akan menghindarkannya dari penyakit pikun termasuk saat ia memasuki masa tuanya nanti. 

Itulah zat ciptaaan Allah yang dianugerahkan dalam otak setiap khalifah yang diutusNya. Sang khalifah harus selalu bangkit untuk berpikir secara positif agar ia produktif dalam menghasilkan endorfin. Barangkali dengan tersadarnya ia bahwa God’s Pharmachopoeia ada dalam dirinya, ia tak lagi memandang segala sesuatu secara buruk. Sang khalifah perlu berpikir bahwa segala permasalahan yang timbul dalam tugas kekhalifahannya hanyalah disebabkan karena ia salah dalam memandang hal yang sebenarnya bukan masalah itu. Untuk itu, tidak seharusnya sang khalifah berhenti terlalu lama dan terbengong-bengong oleh tantangan yang ada di depannya. Karena waktu yang ia punya tidaklah banyak, sementara ia harus segera pulang di waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan yang mengutusnya.

Minggu, 04 Maret 2012

Perjalanan Menemukan Berkah Terselubung


Manusia selalu ingin merasakan kebahagiaan dalam kondisi apapun. Bahkan ketika sedang menghadapi cobaan yang tidak menyenangkan sekalipun, mereka berharap untuk menemukan setitik kebahagiaan. Tawa dan senyuman menghiasi bibir sepanjang waktu, tapi hal itu segera berubah tatkala sesuatu yang tak menyenangkan datang. Sesuatu yang tak menyenangkan itu bak jelangkung, ia datang tak diharapkan. Bagi seorang manusia, sangat sulit untuk mengubah raut muka yang muram menjadi kembali bercahaya. Cobaan itu sangat sulit dihadapi hingga tak ada lagi kekuatan untuk menggerakkan bibir dalam ekspresi sebuah senyuman.

Manusia hidup dalam dimensi yang berbeda. Ia hidup dalam dimensi tempat dan waktu yang beragam. Ia bertahan ketika sesuatu yang tak menyenangkan itu datang. Ia mencoba hidup dalam keyakinannya bahwa ia harus bertahan menjadi seorang khalifah hingga tiba saatnya pulang suatu hari nanti. Memang, sesuatu yang tak menyenangkan itu belum pantas disebut sebagai cobaan. Sesuatu itu lebih pantas disebut sebagai tantangan, karena barangkali baru para Nabi dan para pejuang penegak kebenaran yang telah menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan (baca : cobaan) itu. Hingga mereka pun berkata “Kapankah datang pertolongan Allah?”.

Semakin beragamnya dimensi yang dilalui manusia memberikan konsekuensi linear akan semakin bervariasinya tantangan yang mesti ia hadapi. Ia tak hanya hidup dalam sangkar emas di rumah keluarganya saja yang memberikan kehangatan maksimum dan belas kasih tiada putus. Manusia mesti hidup dalam dimensi yang rumit, hingga ia pun harus selalu berpikir first think first untuk menyiasati segala urusan agar terselesaikan dengan baik. Terselesaikannya urusan  dalam berbagai dimensi yang beragam itu tak berarti membuat senyum di bibirnya kembali mengembang. Karena perasaan dan mentalnya harus kembali diuji dengan berbagai penolakan dari orang yang tak puas dengan kinerjanya.

Sang khalifah telah berusaha dengan keras. Ia harus tetap tersenyum meski tantangan yang ia hadapi belum ia selesaikan dengan sempurna. Di balik tekatnya yang kuat untuk mewujudkan sebuah perbaikan yang konkret itu ia berusaha menggerakkan bibirnya dalam sebuah untaian senyuman di hadapan manusia yang berinteraksi dengannya. Berat rasanya menghadirkan senyuman itu tatkala tantangan belum terselesaikan dengan sempurna. Namun sang khalifah tetap terus yakin dan percaya bahwa Allah yang telah menunjuknya menjadi khalifah tak hanya menuntutnya untuk mewujudkan perbaikan yang benar-benar riil. Allah menyaksikan pula, tersenyum, bahkan menyiapkan berkah terselubung tatkala sang khalifah menunjukkan tingkah polah, cucuran keringat, dan mempercepat jejak langkahnya untuk menyelesaikan setiap tantangan dalam tiap dimensi dimana ia hidup.

Kamis, 01 Maret 2012

Mencari Jati Diri Jilbab

Akhir-akhir ini semakin marak bermunculan tren kerudung modern. Para muslimah beramai-ramai mengenakan kerudung dengan berbagai style dan corak warna yang menarik. Model kerudung yang beraneka ragam dipadukan dengan pakaian modis berwarna cerah seakan makin menarik minat para muslimah yang belum berkerudung untuk cepat-cepat menutupi auratnya. Ada kerudung yang hanya diikat ke leher, hanya menutupi kepala, hingga tak sampai menjulur ke bagian dada.
Tren busana muslimah khususnya kerudung berubah dengan cepat mengikuti perkembangan zaman. Para pengusung kerudung modern, yang boleh dikatakan memiliki banyak ide dalam hal mix and match warna atau model kerudung dan berbusana, berlomba-lomba menampung seluruh imajinasinya pada desain kerudung yang ia kenakan supaya terlihat sedap dipandang mata. Fenomena ini menunjukkan pergeseran orientasi muslimah untuk berkerudung. Nampaknya, orientasi berkerudung di zaman modern ini tidak hanya dalam rangka menutupi aurat, tapi juga merambah pada orientasi penampilan. Bahkan tidak jarang ketertarikan terhadap tren kerudung gaul menjadi orientasi utama seorang muslimah untuk bersegera menutupi auratnya.
Dari segi penampilan luar, model kerudung gaul yang dikombinasikan dengan busana yang sedang ngetrend memang terlihat lebih sedap dipandang mata. Image kumuh dan pakaian tidak match dengan kerudung perlahan tak lagi melekat pada diri seorang wanita yang mengenakan kerudung. Kerudung ada yang hanya diikat ke leher, hingga tak jarang kain kerudung yang seharusnya dapat melindungi organ vital di bagian dada justru hanya dipakai sampai leher atau menjadi penutup kepala saja.
Ada hal positif terkait perkembangan tren kerudung masa kini. Banyak muslimah yang sedari awal tidak paham akan kewajiban mengenakan jilbab, menjadi begitu berapi-api mempelajari bagaimana mengenakan kerudung gaul yang sedang ngetrend itu. Barangkali media kerudung dengan berbagai gaya ini dapat dijadikan sebagai sarana menyampaikan hukum agama yakni kewajiban menutup aurat bagi setiap muslimah. Namun, amat disayangkan ketika motivasi menutup aurat tidak ditindaklanjuti dengan mencari tahu hakekat kain yang menutupi aurat (baca : jilbab) yang sesungguhnya.
Sedikit mengutip ayat Alqur’an QS. Annur 31, perempuan diperintahkan untuk menutupi dadanya dengan kain kerudung. Sangat jelas dalam ayat ini bahwa kerudung bukan hanya berfungsi sebagai pemanis atau penutup kepala saja, melainkan juga harus berfungsi melindungi organ vital di bagian dada. Kalau para pengusung kerudung modern tanggap akan ayat ini, tentunya mereka perlu berimajinasi bagaimana menciptakan model kerudung yang menjulur lebar ke dada, tidak hanya sebatas di leher saja. Muslimah yang hendak berhijrah menutupi auratnya, sebaiknya mencari pemahaman yang sempurna terkait definisi jilbab. Jilbab yang ideal mungkin masih berat dikenakan oleh seorang pemula. Meski demikian, sebuah proses haruslah diupayakan agar berakhir pada kesempurnaan. Sehingga fenomena kerudung gaul yang tak sampai menjulur ke dada semoga hanya menjadi sebuah proses yang masih ada kelanjutannya menuju kesempurnaan berbusana seorang muslimah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.