Sebagai
khalifatullah fil ardh, manusia
diperintahkan untuk berjalan di muka bumi yang sangat luas ini. Perintah ini
bukan tanpa alasan. Sebagai wakil Allah di bumi, sang khalifah ditugaskan untuk
menebar kebaikan dimanapun ia berada dan memberantas keburukan dimanapun kakinya
berpijak. Tantangan untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar semakin berat dirasakan tatkala sang
khalifah berada dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tantangan yang ia
hadapi tak hanya di seputar sangkar emas kediamannya saja, tetapi lebih luas
dari itu yaitu di tiap tempat ia menghentikan langkah.
Hidup
dalam dimensi waktu dan tempat berbeda, menuntut sang khalifah untuk berpikir
cerdas dalam mengidentifikasi lingkungan dimana ia menghentikan langkah.
Termasuk menebar kebaikan dan memberantas keburukan apa yang mesti ia
laksanakan. Tak ketinggalan pula bagaimana strateginya dalam melaksanakan tugas
kekhalifahan itu. Dalam mengemban amanah yang ditugaskan kepadanya, terkadang
ia merasa gelisah dengan hasil yang diperolehnya. Tak satupun manusia di
hadapannya mendengar apa yang disampaikannya. Untuk itulah sang khalifah terus
berbenah diri.
Khalifah
juga manusia. Tak ada yang menyangka ia bisa merasakan kegelisahan dalam
hidupnya. Setiap kali ia rasakan
langkahnya salah, ia pun berhenti sebentar. Menengok ke kanan dan ke
kiri sebelum ia memulai lagi langkahnya. Pemberhentian itu terkadang tak hanya
sebentar. Ia harus juga bertarung dengan dirinya sendiri tatkala otaknya mulai
menghasilkan suatu zat yang disebut dengan dopamin.
Zat semacam ini dihasilkan kelenjar otaknya tatkala sang khalifah tak lagi
memandang segala sesuatu secara positif. Bahkan pada tingkat terparah, ia
mengatai dirinya sendiri sebagai seorang ‘fatalistik pesimistik’. Ketika si fatalistik pesimistik ini terus terlarut dalam kegelisahannya, ia tak
sadar bahwa semakin banyak zat dopamin yang
terakumulasi di dalam otaknya. Ia pun tak menyadari bahwa semakin jauh ia
memandang segala sesuatu secara negatif, semakin meningkat kegalauannya, semakin
stress pikirannya, maka akan semakin terganggu emosi, ingatan, dan aktivitas
motoriknya. Bahkan dalam jangka yang sangat lama, ia akan semakin dekat pada
apa yang sering dikatakan orang sebagai penyakit dementia atau alzheimer.
Lalu
bagaimana si fatalistik pesimistik harus
kembali bangkit menjadi seorang khalifah yang siap mengemban tugasnya kembali?
Untuk mampu bangkit, sang khalifah haruslah terlebih dahulu menghapus segala
zat-zat buruk yang telah terakumulasi di dalam otaknya. Dopamin hanya dapat dihilangkan tatkala ia telah dikuasai oleh zat
rivalnya yang bernama endorfin. Zat
macam ini secara alamiah akan dihasilkan kelenjar otak tatkala ia memandang
kehidupannya dengan positif. Endorfin
akan membuat dendrit-dendrit saraf otak sang khalifah menjadi saling terhubung.
Dan ini akan menghindarkannya dari penyakit pikun termasuk saat ia memasuki
masa tuanya nanti.
Itulah
zat ciptaaan Allah yang dianugerahkan dalam otak setiap khalifah yang diutusNya.
Sang khalifah harus selalu bangkit untuk berpikir secara positif agar ia
produktif dalam menghasilkan endorfin. Barangkali
dengan tersadarnya ia bahwa God’s
Pharmachopoeia ada dalam dirinya, ia tak lagi memandang segala sesuatu
secara buruk. Sang khalifah perlu berpikir bahwa segala permasalahan yang
timbul dalam tugas kekhalifahannya hanyalah disebabkan karena ia salah dalam memandang
hal yang sebenarnya bukan masalah itu. Untuk itu, tidak seharusnya sang
khalifah berhenti terlalu lama dan terbengong-bengong oleh tantangan yang ada
di depannya. Karena waktu yang ia punya tidaklah banyak, sementara ia harus
segera pulang di waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan yang mengutusnya.
0 komentar:
Posting Komentar