Ketika
seorang muslim mendeklarasikan diri untuk menerima Islam sebagai satu-satunya Dien yang haq, maka konsekuensinya
adalah ia harus mau menerima secara kaaffah segala bentuk ketentuan yang
diatur dalam Islam. Kaaffah yang dimaksud disini adalah tidak tebang
pilih. Artinya, segala aturan yang benar yang bersumber dari Alqur’an dan
Sunnah Rasul harus diterima dan dilaksanakan dengan ikhlas. Jadi tidak hanya
aturan yang dianggap sejalan dengan keinginan saja yang diterima dan
dilaksanakan, sementara aturan lain yang menurut hawa nafsu tidak membawa
keuntungan ditinggalkan begitu saja.
Sejak resesi melanda perekonomian negara-negara maju,
masyarakat dunia mulai mengalihkan pandangannya dari sistem ekonomi
konvensional berbasis riba ke sistem ekonomi syari’ah berbasis bagi
hasil dan partnership. Hal ini mulai
ditandai dengan ditambahnya divisi pada lembaga perbankan di Indonesia maupun di negara-negara
lain di dunia, dari yang semula hanya divisi konvensional bertambah menjadi divisi
syari’ah. Fenomena semakin populernya istilah mudharabah, ijarah,
musyarakah, rahn, wadi’ah seakan menjadi awal bangkitnya
perekonomian yang menggunakan sistem islami. Para penggerak lembaga keuangan
syariah, dalam hal ini para ekonom atau bankir muslim khususnya di Indonesia tentunya
memiliki motivasi berbeda dengan kalangan non-muslim yang juga melirik
pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang makin subur.
Para penggerak lembaga keuangan syariah seharusnya paham betul betapa sistem ekonomi Islam itu harus dijalankan. Semangat untuk kembali pada sistem syari’ah didasari oleh niat tulus ikhlas ingin kembali pada aturan Allah, menerima, serta melaksanakannya. Berbeda dari motivasi kalangan non-muslim yang melirik kehadiran lembaga keuangan syariah dengan semata-mata pertimbangan profit dan tren. Ketahanan sistem syari’ah terhadap krisis yang melanda dunia menjadikan penduduk dunia berlomba-lomba membangun lembaga keuangan berbasis syari’ah.
Sistem ekonomi Islam yang hakikatnya Islam itu sendiri dalam kondisi apapun harus berusaha ditegakkan oleh setiap muslim dalam hal ini para ekonom atau bangkir muslim. Sehingga ketika ada bukti historis bahwa ekonomi yang ditawarkan Islam telah mampu memberikan kejayaan selama 1.300 tahun, mulai dari zaman Abu Bakar RA (632 M) sampai zaman Abdul Majid II (1924) hanyalah menjadi sebuah konsekuensi logis atas ditegakkannya sistem syari’ah di muka bumi.
Sebuah bangunan yang kokoh memerlukan pondasi yang kokoh pula. Tidak ada yang salah ketika masyarakat melirik sistem syari’ah akhir-akhir ini terutama sejak isu krisis global merebak. Yang perlu diluruskan adalah ketika sistem syari’ah ini dipakai hanya karena terlarut dalam euforia lembaga keuangan berbasis syariah. Lebih ironis lagi, ketika logika untung-untungan dijadikan dasar menerapkan prinsip syariah dalam praktek lembaga keuangan. Motivasi seperti ini nampaknya kurang mendukung bahkan sama sekali sekali tidak mendukung tegaknya aturan Islam di muka bumi. Oleh karena itu umat Islam perlu melihat kembali motivasinya dalam upaya menegakkan kembali kejayaan dienul Islam. Bukankah kita diperintahkan untuk menerima Islam yang kita pilih sebagai Dien secara kaaffah? Maka segala aturan syara’ mengenai aktivitas ekonomi semestinya dijalankan atas dasar menjalankan konsekuensi sebagai seorang Muslim, bukannya menginginkan profit yang maksimal maupun larut dalam euforia. Semoga kita bisa menjadi bagian dari penjayaan kembali Islam di muka bumi dengan niat yang lurus untuk mencari keridloan Allah semata.