Jumat, 27 Juli 2012

Perahu Itu Bernama FoSEI


Bismillahirrahmaanirrahim…

Malam ini, tiga minggu sudah dari waktu ditetapkannya FoSEI FE UMS sebagai KSEI terbaik Se-Indonesia, saya baru bisa memberikan respon saya sekarang. Sebuah tamparan maha-dahsyat atas ditetapkannya KSEI ini sebagai KSEI terbaik. Keheranan muncul, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak atas kabar yang diterima tanggal 7 juli malam hari itu. Seakan pertanda bahwa semua bertanya, kok bisa ya? Ah salah nyeleksi tuh, ah kebetulan aja tu, dan yang lebih parah lagi kayaknya gak mungkin deh padahal sudah jelas-jelas vandel the best KSEI siap dibawa pulang.

Kenapa saya mengatakan penobatan itu sebagai tamparan maha-dahsyat? 

Apresiasi patut kita berikan kepada teman-teman presnas dan depnas atas dinobatkannya KSEI ini sebagai the best KSEI. Namun sejujurnya, jikalau memang penilaian itu obyektif, toh itu bukanlah tujuan yang ingin diraih KSEI ini. Karena tentu saja tak satupun visi KSEI ini menyebut kata become the best…

Buat apa disebut tamparan maha-dahsyat jika tak bisa dijadikan bahan muhasabah. Di lain sisi, penilaian manusia terkadang tak sesuai kenyataan.  Jika memang demikian, maka KSEI ini pantas bersyukur karena Alloh masih berkenan untuk menutupi banyak kecacatan yang ada pada dirinya.

Benar perkataan salah seorang three musketeers yang ia tulis sebagai closing statement update berita di blog Fosei. “Semoga ini sebagai Muhasabah buat FoSEI untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Menyandang sebagai KSEI terbaik bukanlah sebuah kegembiraan semata. FoSEI harus bisa Istiqomah untuk mendakwahkan dan mengkaji EKonomi Islam”. Closing yang cukup bijak nampaknya, namun saya malah bertanya, apakah kita bahagia dengan hasil itu? Atau biasa saja? Atau malah tak acuh dengan semua ini?

Perjalanan selama 6 bulan kepengurusan menjalankan bahtera FoSEI bukanlah hal yang mudah seperti mudahnya memoleskan bedak dan gincu di pipi dan di bibir. Visi dan misi yang telah tertulis tak hanya mudah untuk ditulis, tapi juga mudah untuk dilalaikan dan bahkan tak pernah diresapi. Ada begitu banyak pertanyaan yang sering muncul dalam benak pikiran masing-masing, kita ini siapa? mau ngapain? Dan mau kemana? Meski visi dan misi sudah terlalu sering dikemukakan di forum, pertanyaan itu hampir sering menghantui perasaan individu yang bahkan terkadang membuat ragu untuk melangkah.

Organisasi layaknya perahu yang berlayar di samudera kehidupan. Jika saya boleh menyebut organisasi ini adalah perahu dakwah, maka sayalah orang pertama yang paling bangga dan bahagia berada sekaligus menjadi motor penggerak perahu ini. Betapa bangganya saya menjadi salah satu agen dakwah meski ilmu baru setinggi betis. Meski sering dianggap sebagai ‘ustadzah dholalah’ saya tak terlalu peduli itu. Kebahagiaan tetap bergema sebagai bagian dari agen dakwah. Pendakwah yang selalu merindukan cahaya Alloh hadir dalam dirinya dan perahunya. Pengemban dakwah yang memilih jalan terang disisiNya, bermandikan cahayaNya meski penuh onak dan duri. Bukan jalan gelap yang begitu fana padahal hanya sekejap mata. Eksistensi perahu ini jika demikian begitu agung di sisi Alloh, karena pengemban dakwah adalah penyambung nafas dunia, menghindarkan perahu dan lingkungan sekitarnya dari kerusakan dan sehabisnya. Perahu ini adalah perahu dakwah, maka jelaslah sudah arahnya, perahu ini akan terus berlayar di samudera kehidupan untuk berdakwah ke arah ridha Allah Ta’ala.

Namun, jika status sebagai perahu dakwah masih berat adanya, nampaknya perlulah ada muhasabah sejenak terutama bagi si nahkoda. Embel-embel “Islam” di belakang nama perahu ini barangkali baru sekedar nama. Apalah artinya ada kata “Islam” yang begitu suci, apalah artinya dinobatkan sebagai yang terbaik, jika senyatanya perahu ini tak mampu memberikan rasa aman bagi penumpangnya. Meski nahkodanya mengaku paham akan eksistensi perahu ini, tetap itu belum ada arti jika penumpangnya tak tahu perahu jenis apa yang ditumpanginya, untuk apa perahu itu berlayar, dan akan berlabuh kemanakah perahu ini…

Mungkin bagi penumpang tak begitu penting perahu jenis apa ini sebenarnya. Jika memang demikian adanya, maka memang tidaklah terlalu penting untuk memperjelas mau kemana arahnya. Sementara cukuplah para nahkoda yang mengetahui perahu apa ini, untuk apa berlayar dan kemanakah akan berlabuh. Jika terasa begitu berat mengemban amanah dakwah di lingkungan sekitar, toh tak ada salahnya untuk terlebih dahulu berdakwah di perahu kita sendiri.

Bulan suci Ramadhan semoga menjadi awal penyucian para penumpang berikut nahkodanya menjadi mukmin sejati. Biarpun masih terlalu sulit bagi nahkoda untuk menjelaskan pada penumpang bahwa perahu ini adalah perahu dakwah yang punya visi dan misi agung, maka biarlah para nahkoda tetap terus menyampaikan apa yang lebih esensi untuk disampaikan. Kebahagiaan sejati para nahkoda adalah tatkala mereka mampu mengenalkan para penumpang dengan Pencipta samudera tempat mereka berlabuh. Menyampaikan pada mereka tentang Sang Pencipta, Illah yang berhak disembah, Sang Rabbul Izzati. Harapannya, jika memang penumpang belum merasakan nikmatnya mengemban amanah menghuni perahu dakwah,  biarlah mereka tetap bisa mengais cahayaNya, hingga semua akan berkata aku ingin kenal Dia, aku ingin belajar mendekat kepadaNya, aku ingin perbaiki diriku karenaNya, maka karena itulah aku masuk perahu ini.…Tiada kebahagiaan sejati selain bisa mengenalkan para penumpang kepada Allah Azza wa Jalla. Karena ia menyayangi semua yang berbuat demi RidhoNya. 

Innallaaha ma’ana, mari menempa diri di perahu ini semata-mata demi RidhoNya.


0 komentar:

Posting Komentar