Bismillahirrahmaanirrahim…
Malam ini, tiga minggu sudah dari
waktu ditetapkannya FoSEI FE UMS sebagai KSEI terbaik Se-Indonesia, saya baru
bisa memberikan respon saya sekarang. Sebuah tamparan maha-dahsyat atas
ditetapkannya KSEI ini sebagai KSEI terbaik. Keheranan muncul, bahkan ada yang
tertawa terbahak-bahak atas kabar yang diterima tanggal 7 juli malam hari itu. Seakan
pertanda bahwa semua bertanya, kok bisa ya?
Ah salah nyeleksi tuh, ah kebetulan aja tu, dan yang lebih parah lagi kayaknya gak mungkin deh padahal sudah
jelas-jelas vandel the best KSEI siap dibawa pulang.
Kenapa saya mengatakan penobatan
itu sebagai tamparan maha-dahsyat?
Apresiasi patut kita berikan
kepada teman-teman presnas dan depnas atas dinobatkannya KSEI ini sebagai the best KSEI. Namun sejujurnya, jikalau
memang penilaian itu obyektif, toh itu bukanlah tujuan yang ingin diraih KSEI
ini. Karena tentu saja tak satupun visi KSEI ini menyebut kata become the best…
Buat apa disebut tamparan
maha-dahsyat jika tak bisa dijadikan bahan muhasabah. Di lain sisi, penilaian
manusia terkadang tak sesuai kenyataan. Jika
memang demikian, maka KSEI ini pantas bersyukur karena Alloh masih berkenan
untuk menutupi banyak kecacatan yang ada pada dirinya.
Benar perkataan salah seorang three musketeers yang ia tulis sebagai closing statement update berita di blog Fosei.
“Semoga ini sebagai Muhasabah buat FoSEI
untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Menyandang sebagai KSEI
terbaik bukanlah sebuah kegembiraan semata. FoSEI harus bisa Istiqomah untuk
mendakwahkan dan mengkaji EKonomi Islam”. Closing yang cukup bijak
nampaknya, namun saya malah bertanya, apakah kita bahagia dengan hasil itu? Atau
biasa saja? Atau malah tak acuh dengan semua ini?
Perjalanan selama 6 bulan kepengurusan
menjalankan bahtera FoSEI bukanlah hal yang mudah seperti mudahnya memoleskan
bedak dan gincu di pipi dan di bibir. Visi dan misi yang telah tertulis tak
hanya mudah untuk ditulis, tapi juga mudah untuk dilalaikan dan bahkan tak
pernah diresapi. Ada begitu banyak pertanyaan yang sering muncul dalam benak pikiran
masing-masing, kita ini siapa? mau ngapain? Dan mau kemana? Meski visi dan misi
sudah terlalu sering dikemukakan di forum, pertanyaan itu hampir sering
menghantui perasaan individu yang bahkan terkadang membuat ragu untuk
melangkah.
Organisasi layaknya perahu yang
berlayar di samudera kehidupan. Jika saya boleh menyebut organisasi ini adalah perahu
dakwah, maka sayalah orang pertama yang paling bangga dan bahagia berada
sekaligus menjadi motor penggerak perahu ini. Betapa bangganya saya menjadi salah
satu agen dakwah meski ilmu baru setinggi betis. Meski sering dianggap sebagai ‘ustadzah dholalah’ saya tak terlalu peduli
itu. Kebahagiaan tetap bergema sebagai bagian dari agen dakwah. Pendakwah yang
selalu merindukan cahaya Alloh hadir dalam dirinya dan perahunya. Pengemban dakwah
yang memilih jalan terang disisiNya, bermandikan cahayaNya meski penuh onak dan
duri. Bukan jalan gelap yang begitu fana padahal hanya sekejap mata. Eksistensi
perahu ini jika demikian begitu agung di sisi Alloh, karena pengemban dakwah
adalah penyambung nafas dunia, menghindarkan perahu dan lingkungan sekitarnya
dari kerusakan dan sehabisnya. Perahu ini adalah perahu dakwah, maka jelaslah
sudah arahnya, perahu ini akan terus berlayar di samudera kehidupan untuk
berdakwah ke arah ridha Allah Ta’ala.
Namun, jika status sebagai perahu
dakwah masih berat adanya, nampaknya perlulah ada muhasabah sejenak terutama
bagi si nahkoda. Embel-embel “Islam” di belakang nama perahu ini barangkali
baru sekedar nama. Apalah artinya ada kata “Islam” yang begitu suci, apalah
artinya dinobatkan sebagai yang terbaik, jika senyatanya perahu ini tak mampu
memberikan rasa aman bagi penumpangnya. Meski nahkodanya mengaku paham akan
eksistensi perahu ini, tetap itu belum ada arti jika penumpangnya tak tahu perahu
jenis apa yang ditumpanginya, untuk apa perahu itu berlayar, dan akan berlabuh
kemanakah perahu ini…
Mungkin bagi penumpang tak begitu
penting perahu jenis apa ini sebenarnya. Jika memang demikian adanya, maka
memang tidaklah terlalu penting untuk memperjelas mau kemana arahnya. Sementara
cukuplah para nahkoda yang mengetahui perahu apa ini, untuk apa berlayar dan
kemanakah akan berlabuh. Jika terasa begitu berat mengemban amanah dakwah di
lingkungan sekitar, toh tak ada salahnya untuk terlebih dahulu berdakwah di
perahu kita sendiri.
Bulan suci Ramadhan semoga menjadi
awal penyucian para penumpang berikut nahkodanya menjadi mukmin sejati. Biarpun
masih terlalu sulit bagi nahkoda untuk menjelaskan pada penumpang bahwa perahu
ini adalah perahu dakwah yang punya visi dan misi agung, maka biarlah para nahkoda
tetap terus menyampaikan apa yang lebih esensi untuk disampaikan. Kebahagiaan sejati
para nahkoda adalah tatkala mereka mampu mengenalkan para penumpang dengan Pencipta
samudera tempat mereka berlabuh. Menyampaikan pada mereka tentang Sang Pencipta,
Illah yang berhak disembah, Sang Rabbul Izzati. Harapannya, jika memang
penumpang belum merasakan nikmatnya mengemban amanah menghuni perahu
dakwah, biarlah mereka tetap bisa
mengais cahayaNya, hingga semua akan berkata aku ingin kenal Dia, aku ingin belajar mendekat kepadaNya, aku ingin
perbaiki diriku karenaNya, maka karena itulah aku masuk perahu ini.…Tiada
kebahagiaan sejati selain bisa mengenalkan para penumpang kepada Allah Azza wa
Jalla. Karena ia menyayangi semua yang berbuat demi RidhoNya.
Innallaaha ma’ana, mari menempa
diri di perahu ini semata-mata demi RidhoNya.
0 komentar:
Posting Komentar