Minggu, 15 Januari 2012

I Dishlike Writing

Aku telah mengaku pada beberapa orang yang kutemui bahwa membaca adalah suatu kebutuhan bagiku, bukan sekedar hobi. Kuakui bahwa belum lama aku berkawan akrab dengan buku. Baru tujuh tahun semenjak aku duduk di tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Ada orang yang percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Tapi banyak juga yang tidak. Mereka yang tidak percaya dengan pengakuanku yang telah berkawan akrab dengan buku adalah mereka yang juga sejak jauh-jauh hari bersahabat dengan buku. Mereka yang tidak percaya bahwa aku seorang yang aktif membaca adalah mereka yang mengatakan bahwa sia-sia saja aku membaca tanpa mengikat apa yang aku baca. Mereka mengatakan, kamu telah diberi “sayap” oleh sebuah buku. Kamu bisa terbang semaumu, dan kamu merasa sudah terbang tak menentu ke segala penjuru. Lalu, apakah kamu puas dengan rutinitasmu itu? Bagi kami, apa yang kamu lakukan—aktivitas membaca tanpa menulis—hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia saja. Bagi kami, membaca tanpa menulis hanyalah kesia-siaaan belaka.

Mengapa kalian menganggap apa yang kulakukan sia-sia? Aku telah bermetamorfosa menjadi seorang pembaca yang tak ingin dibatasi status keilmuan. Kalian tau, sejak kecil yang kulakukan hanya membaca teks buku pelajaran tebal-tebal yang membuatku tak tau arah karna hanya giat kulakukan menjelang ujian. Kini, aku merasa telah berubah sangat drastis. Terserah jika kalian menganggp semua prosesku lambat. Yang pasti, aku tak ingin mengenal dikotomi ilmu. Bagiku tak perlu kita mengenal dikotomi ilmu. Dikotomi ilmu harus dibuang jauh-jauh. Karena kita—aku—ingin bebas membaca apa yang kumau. Buku telah memberiku “sayap” untuk terbang. Hingga aku bisa menjadi elang yang terbang bebas ke seluruh penjuru yang tak menentu. “Kamu telah  mendobrak dikotomi ilmu”, begitu kata kawan sang mantan mawapres 2009.

Siapa yang bisa melarangku membaca buku-buku neurosains atau sastra? Meski aku belum tamat melahapnya, tapi semua memberiku semangat untuk hidup. Aku hidup, aku bangkit ketika kalian tak mengerti keanehan yang kulihat di jurusanku, di kelasku. Lingkungan aneh, tak terlihat budaya akademis, membaca dan berdiskusi. Siapa yang berhak mengaturku hingga aku harus belajar seputar ekonomi saja lantaran statusku sebagai mahasiswa ekonomi?

Kukira, aku sudah terbang sangat jauh. Aku sudah terbang melintasi dunia yang sangat luas meski sebenarnya jiwakulah yang lebih luas darinya. Aku tak mengerti sekarang dimanakah dunia ini menempatkanku. Dan aku mulai tak peduli dimana aku ditempatkan. Di ujung, di tengah, terserahlah. Yang penting aku bisa terbang dengan “sayapku” dan dunia hanya cukup menyaksikan bahwa jiwaku sangat luas melebihinya.

Lalu, mengapa kalian menganggapku melakukan kesia-siaan? Kalian tak percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia lantaran aku belum mampu menghasilkan kata-kata lewat jari jemariku yang memukau pikiran kalian?? Aku tak membutuhkan pengakuan kalian, wahai kawan diskusiku....

Hah, aku seperti teringat tulisan di buku Mengikat Makna, tentang cerita Alm. Soedjatmoko. Baginya, menulis makalah adalah sebuah penderitaan besar. Menulis makalah menjadi sebuah tekanan besar. Momen-momen ini menjadi sebuah hal yang “agonizing”. Betapa menderitanya untuk menulis makalah seperti penderitaan ibu yang berjuang melahirkan anaknya.

Aku pun demikian. Kalian nasehati aku dengan kata-kata segunung. Makna tunggal, bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah hal yang sia-sia karna aku tak mampu mengikat imajinasiku dalam tulisan yang bisa kalian nikmati. Jujur aku muak jika kalian minta aku untuk menulis. Menulis untuk mengikat makna dari buku yang kubaca. Lagi-lagi kalian tak percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Kalian ingin aku tunjukkan hitam di atas putih. Aku jenuh, aku frustrasi, aku tidak bahagia dengan menulis. Kenapa kalian terus memaksaku untuk menulis?