Aku telah mengaku pada beberapa
orang yang kutemui bahwa membaca adalah suatu kebutuhan bagiku, bukan sekedar
hobi. Kuakui bahwa belum lama aku berkawan akrab dengan buku. Baru tujuh tahun
semenjak aku duduk di tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Ada orang yang
percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Tapi banyak juga yang
tidak. Mereka yang tidak percaya dengan pengakuanku yang telah berkawan akrab dengan
buku adalah mereka yang juga sejak jauh-jauh hari bersahabat dengan buku.
Mereka yang tidak percaya bahwa aku seorang yang aktif membaca adalah
mereka yang mengatakan bahwa sia-sia saja aku membaca tanpa mengikat apa yang aku
baca. Mereka mengatakan, kamu telah diberi “sayap” oleh sebuah buku. Kamu
bisa terbang semaumu, dan kamu merasa sudah terbang tak menentu ke segala
penjuru. Lalu, apakah kamu puas dengan rutinitasmu itu? Bagi kami, apa yang
kamu lakukan—aktivitas membaca tanpa menulis—hanya sebuah pekerjaan yang
sia-sia saja. Bagi kami, membaca tanpa menulis hanyalah kesia-siaaan
belaka.
Mengapa kalian menganggap apa yang
kulakukan sia-sia? Aku telah bermetamorfosa menjadi seorang pembaca yang tak
ingin dibatasi status keilmuan. Kalian tau, sejak kecil yang kulakukan
hanya membaca teks buku pelajaran tebal-tebal yang membuatku tak tau arah karna
hanya giat kulakukan menjelang ujian. Kini, aku merasa telah berubah sangat
drastis. Terserah jika kalian menganggp semua prosesku lambat. Yang pasti, aku
tak ingin mengenal dikotomi ilmu. Bagiku tak perlu kita mengenal dikotomi ilmu.
Dikotomi ilmu harus dibuang jauh-jauh. Karena kita—aku—ingin bebas membaca apa
yang kumau. Buku telah memberiku “sayap” untuk terbang. Hingga aku bisa menjadi
elang yang terbang bebas ke seluruh penjuru yang tak menentu. “Kamu telah
mendobrak dikotomi ilmu”, begitu kata kawan sang mantan mawapres
2009.
Siapa yang bisa melarangku membaca
buku-buku neurosains atau sastra? Meski aku belum tamat melahapnya, tapi semua
memberiku semangat untuk hidup. Aku hidup, aku bangkit ketika kalian tak
mengerti keanehan yang kulihat di jurusanku, di kelasku. Lingkungan aneh, tak
terlihat budaya akademis, membaca dan berdiskusi. Siapa yang berhak mengaturku
hingga aku harus belajar seputar ekonomi saja lantaran statusku sebagai
mahasiswa ekonomi?
Kukira, aku sudah terbang sangat
jauh. Aku sudah terbang melintasi dunia yang sangat luas meski sebenarnya
jiwakulah yang lebih luas darinya. Aku tak mengerti sekarang dimanakah dunia
ini menempatkanku. Dan aku mulai tak peduli dimana aku ditempatkan. Di ujung,
di tengah, terserahlah. Yang penting aku bisa terbang dengan “sayapku” dan
dunia hanya cukup menyaksikan bahwa jiwaku sangat luas melebihinya.
Lalu, mengapa kalian menganggapku
melakukan kesia-siaan? Kalian tak percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang
setia lantaran aku belum mampu menghasilkan kata-kata lewat jari jemariku yang
memukau pikiran kalian?? Aku tak membutuhkan pengakuan kalian, wahai kawan
diskusiku....
Hah, aku seperti teringat tulisan
di buku Mengikat Makna, tentang cerita Alm. Soedjatmoko. Baginya,
menulis makalah adalah sebuah penderitaan besar. Menulis makalah menjadi sebuah
tekanan besar. Momen-momen ini menjadi sebuah hal yang “agonizing”.
Betapa menderitanya untuk menulis makalah seperti penderitaan ibu yang berjuang
melahirkan anaknya.
Aku pun demikian. Kalian nasehati
aku dengan kata-kata segunung. Makna tunggal, bahwa apa yang kulakukan adalah
sebuah hal yang sia-sia karna aku tak mampu mengikat imajinasiku dalam tulisan
yang bisa kalian nikmati. Jujur aku muak jika kalian minta aku untuk menulis.
Menulis untuk mengikat makna dari buku yang kubaca. Lagi-lagi kalian tak percaya
bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Kalian ingin aku tunjukkan hitam
di atas putih. Aku jenuh, aku frustrasi, aku tidak bahagia dengan menulis.
Kenapa kalian terus memaksaku untuk menulis?