Minggu, 02 Oktober 2011

Is This an Adversity Quotient?


tidak ada masalah berat dalam hidup ini. Yang ada hanyalah orang hebat yang selalu menjadikan tantangan ringan bahkan yang berat sekalipun sebagai sahabat karibnya...”



Masih teringat dalam memori saya sebuah kejadian di pagi hari sesaat setelah saya tiba di sekolah. Waktu itu saya masih duduk di kelas XII. Di pagi hari, seperti biasa, dari hari Senin hingga Sabtu, saya naik bus ke sekolah bersama salah seorang teman saya, sebut saja Ola. Kebetulan rumah Ola hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Semenjak SMP kami sering berangkat bersama karna kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama pula.

Pagi itu kami berdua tiba di sekolah pukul 06.45 diantar sopir bus ATMO. Karna kebetulan tidak ada jam ke-0, kami berani untuk berangkat ke sekolah agak siang. Ketika kami tiba di sekolah, tim guru STP2K (biasanya dipanggil guru polisi sekolah karna hobinya merazia) sudah menyambut para siswa di depan pintu gerbang. Para siswa ditegur agar melepas jaket sebelum masuk ke area sekolah, diperingatkan agar bajunya dirapikan, serta diperintahkan untuk melepas sepatu seperti yang saya alami !

Seminggu terakhir, isu yang sedang hangat dibicarakan para siswa adalah kewajiban bagi setiap siswa untuk memakai sepatu warrior atau sepatu yang bertali. Belum ada kepastian langsung dari tim guru polisi misal dalam bentuk sosialisasi yang clear kepada seluruh siswa. Karena hanya kabar burung yang berhembus, maka hingga hari itu, saya—dengan santainya masih memakai sepatu pantofel tanpa heels yang menjadi favorit saya. Bentuknya yang simpel dan nyaman dipakai menjadikan saya hobi memakai sepatu itu. Tidak jauh berbeda dengan Ola. Ia juga masih memakai model sepatu pantofel yang mirip dengan sepatu saya.

Saat berjalan di depan guru STP2K, perasaan saya mulai gak enak. Sambil menundukkan kepala dan pura-pura gak tau kalo di samping saya ada guru STP2K, saya langsung masuk gerbang dengan tenang. Eh, ternyata ada salah seorang guru STP2K yang mengamati sepatu saya dan sepatu Ola yang belum bertali. Guru mata pelajaran sejarah yang akrab dipanggil Mr. Smith itu langsung menyuruh saya dan Ola untuk melepas sepatu pantopel kami.

“Kenapa kalian belum memakai sepatu bertali? Sekarang kan siswa harus memakai sepatu bertali, tegur Mr. Smith dengan wajah killernya. Saya mulai membela diri. “Maaf Pak, saya belum pernah mendengar ada sosialisasi aturan baru mengenai sepatu. Kalaupun sudah ada, saran saya sepertinya perlu disosialisasikan lagi aturan baru itu” begitu bela saya. Akhirnya, karna saya tidak ingin berdebat terlalu lama dengan Mr. Smith, langsung saja dengan sedikit keraguan saya menjalani hukuman akibat tidak patuh pada peraturan baru. Saya lepas sepatu yang saya pakai lalu saya letakkan di kantor guru sesuai perintah Mr. Smith. Karena kelas saya berada di lantai 2, otomatis saya nyeker menaiki tangga menuju ke kelas.

Saya masih bertanya-tanya dalam hati sambil mengingat-ingat apakah pernah ada sosialiasi peraturan baru tentang model sepatu. Seingat saya belum pernah ada sosialisasi yang tegas tentang sepatu. Karena itulah saya masih begitu percaya diri mengenakan sepatu tanpa tali pada hari itu. Di saat saya merenung dalam perjalanan dari kantor guru menuju ke kelas, saya sangat tidak menyangka kalau teman saya si Ola mulai menangis hingga air mata keluar dari kelopak matanya yang sipit itu. Melihat raut muka Ola yang begitu shock mungkin karena diminta untuk melepas sepatu, saya memutuskan untuk menghentikan langkah sejenak sambil merapat ke tembok di sisi tangga.

“Lhoh, kenapa nangis??? Shock ya dengan hukuman lepas sepatu?” tanyaku pada Ola. Dengan terbata-bata sambil menahan air matanya Ola menjawab “Aku malu Sep gak pake sepatu ke kelas. Pasti nanti diledekin temen-temen” begitu jawabnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung menghibur si Ola yang masih begitu shock karna harus berjalan hanya beralaskan kaos kaki. “Halah, nyantai aja, yang pakai sepatu merek nyeker men pasti banyak kok. Kamu gak liat tadi banyak sepatu yang diparkir di kantor guru” hibur saya. Akhirnya setelah Ola sedikit lebih tenang, saya nuntun dia menaiki tangga menuju kelas. Kebetulan kelas saya berada tepat di sebelah timur tangga, sementara kelas Ola berada di timur nan jauh dari tangga. Karna saya gak tega melihat Ola jalan sendirian dengan malu-malu kucing, akhirnya saya antar dia hingga ke kelasnya. 

Saya agak tenang karna teman-teman gak sempat meledek Ola. Setelah Ola duduk di kursinya, saya pun menuju kelas saya. Dalam perjalanan menuju kelas, saya mengamati masih banyak teman-teman terutama perempuan yang belum mematuhi aturan baru tentang sepatu bertali. Masih banyak yang memakai model sepatu remaja gaul dan nampaknya lebih cocok dipakai untuk nongkrong di mall. Bahkan ada juga yang memakai sepatu model elegan yang begitu cocok dipakai dalam acara resepsi pernikahan!

Dalam hati, saya berkata “Keadilan harus ditegakkan nih”. Banyak yang gak taat peraturan baru,  tapi hanya sedikit yang menanggung hukuman lepas sepatu...

Tanpa pikir panjang, setelah saya menaruh tas di kelas, saya putuskan untuk kembali menemui Mr. Smith di kantor guru untuk melaporkan fenomena di lantai 2 yang berhasil saya amati. Di kantor, saya melihat Mr. Smith sedang tidak melakukan aktivitas urgen. Jadi saya pikir ada kesempatan untuk mengajukan keberatan saya.

“Permisi Pak, maaf mengganggu waktu Bapak” sapa saya. “Ada apa lagi Sep?”tanyanya. “Bapak, saya sarankan naik ke lantai 2. Saya melihat masih banyak teman-teman yang belum taat pada peraturan baru. Banyak yang masih memakai sepatu tanpa tali, Pak. Tentunya mereka juga harus diperintahkan untuk melepas sepatu kan. Bukankah aturan dan keadilan mesti ditegakkan?” tanya saya.  

Setelah mengajukan keberatan, saya langsung kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran pada jam pertama. Jam pertama, kami moving ke lab komputer. Sewaktu kami sedang mengikuti pelajaran komputer di lab, tiba-tiba guru guru STP2K lengkap satu kompi datang ke lab. Wah, sepertinya razia dadakan nih. Dan ternyata benar, para guru STP2K datang dengan misi merazia. Mereka merazia satu per satu siswa yang sepatunya tidak bertali. Walhasil, banyak temen-temen saya yang akhirnya bernasib sama seperti saya yakni harus memarkir sepatunya di kantor.

Setelah mata pelajaran komputer di kelas selesai, saya dan teman-teman kembali ke kelas. Semakin banyak yang memakai sepatu merek nyeker men. Teman-teman menanggapi razia dadakan di pagi hari itu dengan kesal. Ada yang mengatakan “Kok bisa ya, ada razia dadakan gini. Biasanya kalo ada rencana razia, langsung pada tau...”

Saya cuma ketawa aja dalam hati sambil membatin “Hore, akhirnya keadilan ditegakkan juga. Mr. Smith tergerak hatinya untuk menegakkan aturan. Kalau teman-teman tau sayalah yang memberikan informasi pada Mr. Smith, bisa-bisa saya dianggap tukang ngadu, hehehe....

Itulah sepenggal kenangan saya di bangku SMA. Setelah kejadian itu, saya masih bertanya-tanya kenapa ya Si Ola yang terkenal sangat jenius dalam mata pelajaran sains begitu cengeng menghadapi tantangan sepele sewaktu diminta melepas sepatu.

Saya evaluasi diri saya. Saya merasa begitu santai menghadapi situasi yang demikian. Ola, si calon dokter begitu shock dengan gertakan guru STP2K. Apa mungkin dia kurang terlatih ya menghadapi unpredicted condition???

Saya mulai merenung. Inikah yang disebut Adversity Quotient ?? Baru dua minggu yang lalu saya mengenal istilah itu dari syekh google. Adversity Quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam merespon setiap tantangan dan perubahan secara profesional. Saya memang kurang paham teori tentang Adversity Quotient dan seperti apa aplikasinya. Yang saya ketahui, orang yang memiliki kecerdasan seperti ini selalu berusaha merangkul tantangan yang ada di depannya. Ia tidak menjadi pesimis, takut, bahkan menderita lantaran hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Ia sikapi setiap tantangan dan perubahan dengan tangan terbuka dan tentunya sikap yang kreatif. Sehingga ia pun dapat tetap fokus pada visi hidupnya, tanpa menjadi putus asa karena ia telah berhasil merangkul tantangan dan perubahan dalam hidupnya. Saya berharap pengalaman di masa SMA itu menjadi bibit kecerdasan adversiti dalam diri saya. Dan saya berharap dapat terus mengasahnya. Embrace the challenge !





Senin, 04 Juli 2011

Bekal Sang Khalifah

”Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzab 72)”

Manusia, sebagai salah satu maha karya Rabb semesta alam, ditakdirkan olehNya menjadi makhluk yang kontroversial. Betapa tidak, di tengah ketidaksanggupan makhluk lain untuk mengemban amanah menjadi wakil Allah SWT di bumi, manusia dengan gagah berani mendeklarasikan diri bahwa dirinya sanggup menjadi delegasi Allah SWT di dunia. Tugas-tugas seperti amar ma’ruf nahi munkar, jihad fisabilillah, menyelesaikan masalah kemiskinan umat, berlemah lembut terhadap kaum muslimin hingga bersikap keras pada para penyembah thaghut otomatis menjadi tanggung jawab setiap insan yang sejak awal telah menyanggupi untuk menerima tugasnya sebagai khalifatullah  fil ‘ardhi. Ini dari tugas tersebut tidak lain adalah demi menegakkan kalimat Laa ilaaha illallah di muka bumi ini.
 
” Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad 7)

Tidak perlu menyesali mengapa mesti manusia yang harus bersusah payah memakmurkan kehidupan di bumi. Tak perlu cemas pula ketika harus mendakwahkan tauhid di tengah kaum penyembah thaghut. Semestinya manusia bergembira karena di saat tugas sebagai khalifah di bumi dijalankan dengan baik dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT dan syarat manjadi khalifah berupa keimanan dan amal shaleh telah terpenuhi, maka Dia akan menolong sang khalifah dan meneguhkan kedudukannya berdasar keterangan ayat 7 surat Muhammad di atas. Mengapa sang khalifah diberikan kedudukan yang mulia di hadapan Allah? Hal ini sangat jelas karena mereka telah menolong Dien Allah. Sebaliknya, jika manusia mengkhianati tugas suci ini atau bahkan tidak punya kesadaran bahwa dirinya diciptakan untuk mengurus kehidupan di bumi, maka manusia tidak pantas marah jika Allah memasukkannya dalam golongan orang-orang zalim yang amat bodoh.
Dalam menjalankan misi suci sebagai khalifah, manusia diberikan tiga bekal penting oleh penciptanya. Bekal ini bernama akal, hati, dan jasad. Untuk yang pertama, yaitu akal. Akal berbeda dengan otak, karena otak merupakan benda biologis di tempurung kepala bagian belakang yang berfungsi untuk merekam, menyimpan, dan mengingat informasi yang berhasil ditangkap indera penglihatan dan pendengaran. Informasi yang tersimpan dalam otak kemudian dikelola oleh suatu zat yang bernama akal. Bekal khalifah yang kedua adalah hati. Hasil pengelolaan informasi oleh akal tadi kemudian diproses dalam hati. Karena itulah AlQur’an sering menyatakan bahwa kerja akal itu di dalam hati, sehingga tidak ada jeda waktu antara proses pengelolaan informasi di akal dan di hati. Hati sebagai decision maker setelah berhasil mengambil keputusan berupa tekad atau kehendak maka keputusan hati ini selanjutnya turun ke wilayah fisik menjadi sikap dan tindakan.
Tentang jasad atau fisik sebagai bekal khalifah yang ketiga, maka tugas utamanya adalah melakukan arahan akal dan keputusan hati / jiwa. Karenanya ia merupakan kendaraan bagi akal dan jiwa kita untuk mencapai tujuan. Para ulama mengatakan ” Jika engkau memiliki jiwa yang besar, niscaya ragamu akan lelah mengikuti kehendaknya”. Jadi, kendaraan ini harus di up-grade kemampuannya agar sanggup membawa beban dan arahan akal dan jiwa manusia.
Akal, hati, dan jasad semuanya adalah unsur dalam diri sang khalifah yang tak dapat bekerja sendiri-sendiri. Karena dari wilayah akal, sang khalifah akan menemukan cara berpikirnya. Sementara dari wilayah hati ia akan menemukan cara merasa, dan dari wilayah jasad ia akan menemukan cara berperilaku. Cara berpikir itulah yang kemudian menjadi visi, cara merasa itulah yang akan menjadi mental, dan cara berperilaku itulah yang kemudian menjadi karakter.
Ibarat suatu negara, hati sebagai pengambil keputusan adalah laksana seorang raja yang duduk di singgasana. Sementara akal yang kuat bak tentara raja. Jasad, yang notabene pelaksana arahan hati dan akal seperti rakyat jelata yang siap diatur oleh kedua pihak tersebut.

Kamis, 30 Juni 2011

Seberat Inikah Konsekuensinya?



Hari ini terasa berbeda dari hari kemarin. Berbeda, karena tepat pada hari ini hasil test SNMPTN 2011 diumumkan. Bagi mahasiswa yang sudah kuliah selama empat semester seperti saya, apa istimewanya pengumuman itu?

Salah satu kerabat saya mulai menanyakan perihal test snmptn yang saya ikuti sebulan yang lalu. “Gimana hasil test snmptnnya? diterima dimana?” begitu tanyanya.

Saya hanya terdiam seribu bahasa. Terdiam agak lama di depan wastafel. Akhirnya saya hanya menjawab dengan jawaban singkat, “belum liat pengumuman....”

***********

Sebelum saya berangkat ke kampus, dengan sedikit terburu-buru, saya nyalakan laptop sambil berharap wifinya connect dengan hotspot kantor kelurahan depan rumah. Setelah connect, saya buka website snmptn.ac.id. Memasukkan nomor peserta (2114489864), dan akhirnya . .

“selamat, anda diterima pada pilihan kedua (ilmu ekonomi UGM)”

Segala puji bagi Allah, pengumuman inilah yang saya nantikan selama sebulan terakhir ini. Seperti layaknya siswa SMA yang baru saja lulus, saya sangat berharap dapat diterima di universitas yang direspons masyarakat sebagai universitas terbaik di negeri ini yaitu Universitas Indonesia. Tapi Allah berkehendak lain, karena saya diterima pada pilihan kedua, bukan pertama.

Well ......

Pertanyaan yang mungkin dilontarkan teman-teman ketika membaca tulisan ini adalah “ngapain si Septi ikut tes SNMPTN?? Bukannya udah 2 tahun dia kuliah di UMS ???”....

Sejak tulisan ini dibuat, saya telah menyelesaikan kurang lebih empat semester di kampus saya sekarang. Dua tahun yang lalu, ketika status saya masih duduk di bangku kelas XII, saya mulai memikirkan matang-matang perihal kelanjutan studi saya. Apa yang saya lakukan mungkin terhitung agak terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan teman-teman. Sebagian besar teman-teman sekelas saya telah merencanakan kelanjutan studinya setelah SMA jauh-jauh hari sejak masih duduk di kelas X.

What Passions Means?

Bagi siswa-siswi kelas XII pada umumnya yang ingin melanjutkan studinya di perguruan tinggi dalam negeri, maka tentu saja Perguruan Tinggi Negeri favoritlah yang dituju. As we know, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seperti UI, UGM, ITB selalu menempati posisi tiga teratas dalam daftar perguruan tinggi yang paling banyak diminati calon mahasiswa pada tes SNMPTN. Ada beberapa pertimbangan mengapa hampir setiap siswa kelas XII memiliki keinginan agar diterima di salah satu PTN favorit. Bagi seorang siswa kelas XII yang belum benar-benar menemukan passion sejatinya (seperti saya), memilih PTN favorit berarti memilih tempat yang baik untuk melakukan character building, tentunya sambil terus fighting menemukan passion.

Tes masuk PTN yang saya ikuti pertama kali adalah SIMAK UI. Saya mengambil jurusan psikologi pada pilihan pertama. Mengapa psikologi? Karena saya ingin kuliah sambil menjalani proses self recognizing. Mungkin dengan kuliah di psikologi saya akan mendapat banyak materi kuliah seputar pengembangan diri. Begitu pikir saya.

Lalu apa pilihan keduanya? Sejujurnya, saya tidak mengisi borang untuk pilihan kedua. “Passion saya di psikologi, kenapa mesti berharap diterima di jurusan lain?” begitu pikir saya. Hingga kemudian sebulan setelah saya mengikuti tes SIMAK UI, saya menerima hasil tes itu dan kali ini UI benar-benar telah MENOLAK saya !!

Memutuskan Tidak Ikut Tes Masuk PTN

Ada banyak tes masuk PTN. Mulai dari SIMAK UI, UM UGM, UM UNDIP, USM ITB, UMB, hingga SNMPTN. Setelah saya ditolak menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi UI melalui jalur SIMAK UI, saya tidak mau terburu-buru merencanakan mengikuti tes lain masuk PTN. Orang tua meminta saya untuk tetap stay di Solo. Jika demikian, berarti saya harus kuliah di Solo. Kemungkinan yang akan terjadi, saya akan kuliah di UNS atau UMS.

Keluarga, para guru, teman-teman, tetangga, dan lainnya, semua mendukung agar saya kuliah di UNS saja. Perguruan Tinggi Negeri selalu menjadi tempat pertama yang dituju para calon mahasiswa. Lagi-lagi saya tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan untuk ikut tes masuk PTN. Sewaktu saya belum mengambil kembali keputusan hendak kuliah dimana, diam-diam akhir-akhir itu semangat saya terus bertambah dalam membaca literatur tentang perekonomian.

Sedikit cerita, artikel yang paling saya suka dan membuat saya cukup tercengang adalah tulisan mengenai perjanjian Bretton Woods tahun 1944 di New Hampshire. Artikel tersebut termuat dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Pak Muhaimin Iqbal. Dalam artikel tersebut, Pak Iqbal bercerita mengenai bagaimana kronologis mem-peg-kan uang fiat dengan emas hingga kemudian pada tahun 1971 terjadilah apa yang disebut dengan Nixon Shock. Sejak saat itu, uang fiat terutama Dollar AS tidak lagi di-peg­-kan dengan emas. Ada pula artikel yang masih up to date tentang perkembangan bank syariah dalam dan luar negeri beserta  perdebatan hangat mengenai tidak syar’inya bank syariah.

Semua tulisan yang saya baca menampilkan berbagai fenomena ekonomi yang membuat saya penasaran untuk memperdalamnya. Semakin banyak saya membaca, semakin penasaran saya dibuatnya dan saya semakin membayangkan betapa dahsyatnya diskusi saya dengan teman-teman sesama mahasiswa ekonomi di kampus saya nanti.

Suatu hari, saya mendapatkan brosur UMS dari salah seorang teman yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kampus tersebut. Saya teliti brosur tersebut ternyata ada program studi baru di Fakultas Ekonomi UMS yaitu Ekonomi Syari’ah. Pikiran saya yang telah “teracuni” berbagai pengetahuan mengenai ekonomi membawa saya mempertimbangan program studi baru di UMS itu. Beberapa pertimbangan yang saya ajukan kepada orang tua saya bahwa – bismillah saya telah RESMI memilih program studi Ekonomi Syari’ah di UMS dan tidak akan mengikuti tes SNMPTN adalah :
- Saya ingin memperdalam ilmu ekonomi sekaligus ilmu dien, dan ini sesuai dengan jargon UMS yaitu Wacana Keilmuan dan Keislaman (Kemakan iklannya UMS nih...)
- Biaya kuliah di UMS memang sedikit lebih mahal, namun tidak begitu mahal kalau dibandingkan dengan biaya kuliah di luar kota.
- Alasan yang paling membuat saya bersemangat adalah saya ingin paham perbedaan sistem ekonomi islam dengan kapitalis.

Itulah beberapa alasan yang saya ajukan kepada orang tua. Sebelumnya, saya telah terlebih dahulu mempersiapkan diri menghadapi semua konsekuensi yang harus saya jalani karena telah memilih secara langsung universitas swasta tanpa mengikuti terlebih dahulu tes masuk PTN. Awalnya orang tua agak sedikit berat merestui saya untuk kuliah di PTS. Anggapan orang tua saya hampir sama dengan anggapan kebanyakan orang bahwa PTN memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari PTS. Bapak dan Ibu berharap saya kuliah di UNS saja, namun pada akhirnya mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan saya.

Dua tahun di UMS

Terus terang saja, awalnya saya merasa bahagia belajar di universitas ini. Banyak sekali ilmu-ilmu yang belum saya ketahui sebelumnya. Meski fokus saya ekonomi, tetapi saya dan teman-teman sejurusan juga diperkenalkan dengan ilmu-ilmu seperti fiqh, tafsir, filsafat, serta hukum. Bahagia rasanya berada di lautan ilmu yang sepertinya sangat luas. Terkadang, karena banyaknya materi yang membuat saya penasaran dan harus saya pelajari, menjadikan saya sering berkata dalam hati ”biarkan aku belajar dan pahami tentang materi ini dulu Pak Dosen, jangan tambah materi yang lain....”

Berada di lautan ilmu yang bermanfaat, membuat saya begitu bahagia. Tapi kebahagiaan ini tidak saya rasakan dalam pergaulan saya dengan teman-teman sekelas. Saya mengenal diri saya sebagai seorang yang sangat menyukai kompetisi. Suasana belajar di kelas saya semasa SMA sangat kompetitif. Kami bersaing ketat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Kini, suasana persaingan sehat yang challenging itu sama sekali tidak saya dapati di kelas saya. Entahlah, untuk yang satu itu membuat saya sering merasa kurang bersemangat dalam belajar.

Aneh memang. Saya begitu sadar bahwa pikiran saya sedikit banyak masih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti contohnya ketika dua tahun lalu saya mengambil keputusan untuk kuliah di universitas ini lantaran banyak membaca buku tentang ekonomi. Dan sekarang, saya mulai merasakan lemas alias tidak bersemangat dalam belajar karena rata-rata teman sekelas saya memiliki pola belajar yang berbeda dengan saya. Sejujurnya, saya kurang suka menjadi seorang siswa yang rajin belajar hanya ketika menjelang ujian. Tapi selama dua tahun ini, hal itulah yang dilakukan rata-rata teman saya.

Saya seperti kehilangan spirit belajar mandiri. Kondisi lingkungan begitu mempengaruhi semangat belajar saya. Semangat saya tidak lagi menggebu seperti ketika menjelang masuk perguruan tinggi ini. Ketika saya mulai menyaksikan fenomena di program studi saya yang cukup aneh seperti adanya konflik dosen dengan mahasiswa, konflik antardosen, dan konflik antarmahasiswa membuat pikiran saya menjadi begitu buruk. Saya bertanya dalam hati ”lingkungan macam apa ini ?”

Saya terus memohon ampun kepada Allah atas pikiran saya yang terlalu negatif dalam memandang lingkungan tempat saya belajar. Saya terus meyakinkan diri saya bahwa lingkungan di sini tidak sepenuhnya buruk. Masih banyak hal-hal positif yang harus saya cari di kampus ini.

Namun, suatu hari saya benar-benar tidak kuasa menahan kebosanan saya berada di lingkungan kelas saya. Ada suatu hal yang terjadi, yang sebenarnya bukan hal besar, namun cukup membuat saya kembali tidak bersemangat dalam belajar. Pada hari itu, kelas kami mendapatkan tugas Ekonomi Moneter yang terdiri dari 5 pertanyaan esai yang harus dijawab secara lengkap. Dosen mata kuliah Moneter meminta kami pergi ke perpustakaan agar kami dapat menyelesaikan soal tersebut. Teman-teman begitu sibuk mencari jawaban tugas dalam buku-buku Moneter yang tebal-tebal. Sebagian yang lain hanya duduk-duduk sambil mengobrol, berharap mendapatkan contekan dari temannya yang sudah terlebih dahulu menemukan jawaban.

Menurut saya, jawaban soal-soal tersebut cukup mudah. Bukan karena saya sok bisa, tetapi memang soal-soal tersebut pernah dibahas di kelas. Saya dengan cepat menjawab soal-soal tersebut sambil sesekali berdiskusi dengan beberapa teman yang mau saya ajak diskusi. Akhirnya saya berhasil menyelesaikan soal itu. Namun, saya heran, teman yang tadi saya ajak diskusi justru ingin meminjam jawaban saya. Dan hal itu diikuti pula oleh teman-teman yang lain. Waktu itu dalam hati saya berkata “Kenapa teman-temanku males mikir???”

Saya pasrah. Allah sedang menguji kesabaran saya. Allah sedang menguji kesungguhan saya dalam mempertahankan visi saya sejak awal, yaitu mendalami ekonomi dan Islam. Meski saya sadar harus tetap sabar, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti tes SNMPTN tahun ini. Ada sedikit harapan dalam hati untuk pindah di universitas yang lebih kondusif lingkungannya untuk belajar. Hingga akhirnya saya mantap untuk mengikuti tes SNMPTN 2011. Saya mengerti konsekuensi yang mesti saya tanggung jika saya diterima di salah satu PTN apakah itu UI atau UGM. Konsekuensi yang harus saya tanggung adalah kekecewaan kedua orang tua saya jika saya benar-benar “lari” dari kampus saya sekarang ini....

Kamis, 02 Juni 2011

Guru ; Ujung Tombak Perbaikan Moral Bangsa

Selamat datang wahai calon guru, di dunia pendidikan yang penuh tantangan sekaligus harapan.....
Kuucapkan selamat atas keputusan terbaikmu untuk mau mengemban amanah suci ini dalam memperbaiki moralitas kaum muda yang makin jauh dari pesan-pesan agama.....
Tak pantaslah kata-kata penyesalan itu keluar dari bibirmu, entah karena pendapatanmu yang tak sepadan dengan perjuangan yang telah kau torehkan ataukah karena kesulitan yang kau hadapi saat tak sanggup mengatur polah anak didikmu. Sungguh kebulatan tekadmu untuk mengemban misi brilian ini akan mendapat balasan PAHALA dariNya sesuai dengan perkataan sang pendidik sejati Rasullullah SAW bahwa ”Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala sebanyak pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi sedikitpun pahala mereka” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

Keikhlasan VS Materialistik
Suatu hari, seorang guru di sebuah kelas menyarankan murid-muridnya agar kelak mau menjadi penerusnya, yakni memilih profesi menjadi guru. Beliau berkata ”jadi guru itu enak lho Cah...wes gajine akeh, kerjone ra ngoyo, PNS pula!!, oponeh guru TK, mung ”keplak-keplok” thok entuk gaji akeh!!”... Itulah pesan salah seorang guru pada murid-muridnya kelas 3 SMA saat sang murid mulai bingung memilih bidang yang sesuai minat dan kemampuan mereka.
 Walhasil, sejak pernyataan yang disampaikan guru tersebut terekam dalam memori beberapa teman, mereka mulai tertarik dengan profesi ini. Kisah hidup seorang guru yang serba menyenangkan berhasil digambarkan oleh Ibu Guru tadi kepada murid-muridnya. Gambaran sekilas bahwa kehidupan guru sungguh akan berbagai fasilitas dan kemudahan berupa gaji yang tetap, status sebagai pegawai negeri, sampai jam kerja yang relatif singkat berhasil memotivasi teman-teman untuk kuliah di jurusan keguruan.
Maaf, dari pernyataan di atas saya tidak bermaksud menyalahkan teman-teman yang ingin mengambil jurusan FKIP atau keguruan. Namun, kesadaran untuk ikut terjun langsung dalam dunia pendidikan untuk ”memoles” moral anak-anak muda dengan akhlak yang mulia, itu sudah cukup menjadi motivasi siapapun yang ingin jadi seorang guru. Saya salut dengan orang-orang yang punya nyali untuk mau mengemban amanah menyampaikan ajaran kebaikan pada anak-anak, mendidik mental mereka dengan ketegasan, dan melatih mereka dengan kebiasaan bertanggung jawab dan jujur. Mereka dengan gagah berani mau terjun langsung untuk mendadani akhlak generasi muda dengan tangan mereka di saat semua orang hanya bisa melontarkan kritikan pasif yang numpang lewat terhadap akhlak anak-anak muda sekarang yang makin tak karuan. Namun sayang, ketika semua misi suci ini harus dinodai dengan motif materialistik dari pihak-pihak yang menganggap bahwa dunia pendidikan bisa menjadi sebuah ladang untuk mengeruk materi.
Tidak ada yang salah ketika seorang remaja memilih untuk kuliah di jurusan keguruan lantaran ingin tetap tinggal di kota asalnya atau karena memilih jurusan itu dengan pertimbangan passing-greadnya yang lumayan bisa dijangkau. Tapi agak memprihatinkan ketika seseorang memutuskan untuk menjadi guru lantaran tak ada pekerjaan lain yang lebih menjanjikan materi ibarat peribahasa tak ada rotan akar pun jadi.

Standar Ideal Seorang Guru
Setiap orang berhak mencari nafkah untuk keluarganya, tak terkecuali seorang guru. Bapak ibu guru berhak menerima gaji atas hasil jerih payahnya bekerja. Dalam hal ini kepentingan atas materi dan kesadaran untuk mendidik sama-sama kuatnya. Yang menjadi permasalahan adalah ketika semangat untuk mencari nafkah tidak diiringi dengan kesadaran untuk memperbaiki kualitas mengajar murid-murid. Ada guru yang setiap kali mengajar hanya menyuruh murid-muridnya mengerjakan LKS, hanya memberikan tugas lalu meninggalkan kelas entah kemana, bahkan banyak yang hanya mentransfer ilmu yang mereka miliki pada murid-muridnya tapi menjelang ujian kelulusan malah menyarankan murid-muridnya untuk saling bekerja sama (contekan).
Ada hal-hal yang terkadang tidak disadari. Sebetulnya seorang guru punya 3 posisi strategis dalam dunia pendidikan; Pertama: mereka punya kesempatan menjadi PENGAJAR, yang siap mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didiknya, yang Kedua : setiap guru harus menjadi seorang PENDIDIK bagi murid-muridnya untuk menanamkan kebiasaan atau etika sopan-santun, kedisiplinan, tanggung jawab, kemandirian, serta kejujuran. Dan yang terakhir, seorang pengajar sekaligus pendidik harus mampu menjadi ”guru” di depan siswanya. Kata ”guru” dalam bahasa jawa diartikan ”digugu lan ditiru” (ditaati dan dicontoh). Artinya, sebelum mengajari dan mendidik siswanya, seorang guru dituntut harus punya kepribadian yang baik meliputi tutur katanya yang halus dan sopan, pemikirannya yang kritis dan tajam, serta loyalitasnya di dunia pendidikan sehingga sang siswa mampu menangkap teladan yang dapat dijadikan inspirasi dalam kehidupannya. Hingga pernyataan ”my teacher is my inspiration”  tak hanya sekedar ucapan saja, tapi juga tertanam kuat dalam sanubari setiap siswa.
Kesabaran Berbuah Kenikmatan
Pak presiden berjanji akan menaikkan gaji guru, tapi sepertinya tidak semua guru. Hanya guru yang berstatus PNS saja yang gajinya dinaikkan. Padahal masih banyak Guru Tidak Tetap (GTT) yang mengabdi di sekolah-sekolah. Walhasil, banyak guru-guru bantu tersebut berdemo menuntut kenaikan gaji ditambah kenyataan gaji mereka lebih rendah dari gaji buruh sekalipun.
Silakan bapak dan ibu guru tidak tetap (GTT) menuntut apa yang menjadi hak bapak ibu guru sekalian. Tapi ingat, tuntutan seperti itu mesti dibarengi dengan peningkatan kualitas dalam mengajar, mendidik, maupun menjadi contoh bagi murid-murid.
Untuk teman-teman di jurusan keguruan, pilihan kalian sangat tepat untuk masuk di jurusan ini, karna perjuangan kalian sangat dibutuhkan untuk menghidupkan kembali arti mulia sebuah pendidikan. Dan kelak di akhirat setiap manusia tak terkecuali para guru akan dimintai pertanggungjawaban atas upayanya mendidik generasi muda. Jika tugas kalian dilakukan dengan baik, maka tentunya Allah akan memberikan rahmatNYa bagi para pengajar kebaikan. Namun jika tidak, Wallohu a’lam apa yang akan terjadi, kualitas umat akan berada di ujung tanduk kebinasaan. 
Semoga Allah membalas kebaikan para pengajar kebaikan...Amin

Senin, 25 April 2011

Formula Menuju Keberhasilan



“ visi + disiplin + keyakinan + doa = keberhasilan ”

Alhamdulillah, kali ini punya cerita untuk ditulis, setelah kemarin tim olimpiade yang saya dan teman-teman gawangi berhasil menyabet juara II di ajang olimpiade Ekonomi Islam Temu Ilmiah Regional 2011 di Forshei IAIN Walisongo Semarang. Temilreg merupakan annual event dari program kerja FoSSEI nasional yang diadain di tiap regional. Tahun lalu, KSEI (Kelompok Studi Ekonomi Islam) kami jadi tuan rumahnya, jadi saya ama temen-temen belum bisa berpartisipasi menjadi peserta olimpiade.

Setelah kami baca proposal publikasi Temilreg 2011, tanpa menunda-nunda waktu, kami bahas proses seleksi untuk menentukan delegator olimpiade dari KSEI kami. Karena saya dapet amanah untuk mengkoordinir proses seleksi delegator di KSEI saya, ya langsung aja tanpa ikut proses seleksi saya mencalonkan diri jadi salah satu anggota tim olimpiade (hehe, curang ni yee). Berdasarkan ketentuan di proposal pemberitahuan, tiap KSEI berhak mengirimkan delegasi olimpiade maksimal dua tim (@ tim 3 orang).

Selanjutnya, saya dibantu kak Dila angkatan 2008 udah berhasil  ngadain seleksi delegasi buat olimpiade. Satu delegator dari angkatan 2008 (kak Islam), tiga delegator angkatan 2009 (Bayu, Machda, and me !) dan dua delegator dari angkatan 2010 (dek Eno’ sama dek Fatimah). Tim I terdiri dari Machda, dek Eno’, and me!, dan tim II beranggotakan kak Islam, Bayu, sama dek Fatimah. Minggu terakhir di bulan Maret, kami duduk bareng untuk mengatur jadwal belajar tim I dan tim II. Selain itu, kami juga bersepakat untuk menentukan metode belajar seperti apa yang bakal kami pakai untuk persiapan olimpiade. Akhirnya kami bersepakat untuk belajar kelompok tiga kali dalam seminggu. Di tiap pertemuan, masing-masing delegator harus menyiapkan 20 poin soal yang dikerjakan secara mandiri. Soal-soal itu kemudian dikerjakan oleh teman-teman lain lalu dicocokin jawabannya bareng-bareng. Setelah itu, si pembuat soal berkewajiban menjelaskan jawaban soal dan materi yang terkait dengan soal yang dibuatnya. Secara teknis, seperti itulah model pembelajaran di KSEI kami, bagaimana dengan KSEImu ??.

Pada pertemuan ke-6 yang merupakan pertemuan kelompok yang terakhir, kami rekap semua materi yang belum kami pelajari. Ternyata banyak juga yang belum dibahas saat belajar bareng. Akhirnya kami hanya bersepakat untuk belajar sendiri-sendiri in the kost atau at home...Belajar, belajar, dan belajar. Meski demikian, hal yang paling indah di pertemuan terakhir ini adalah we can support each other. Kak Islam bilang “kita gak bakal menang kayaknya, saingan kita kelas berat”. Namun, spontan saya langsung menimpali pernyataan Kak Islam “aku yakin kita bisa menang dan bawa pulang salah satu tropi”. Then, setelah sayup-sayup adzan magrib terdengar, pertemuan terakhir pra-olimpiade itu kami tutup dengan doa bareng (we’ll do the best, then tawakaltu ‘alalloh..)

Tiba saatnya hari H, 9 April 2011. Kami berenam saling berpandangan mata satu sama lain sebagai tanda semuanya harus bersemangat dan saling support. Anehnya, dari enam orang anggota tim, kenapa saya aja ya yang ngerasa yakin banget kalo KSEI kami pasti jadi salah satu winner. Meski begitu, saya tetep yakinkan teman-teman kalo kita pasti bisa (sure, we can !)

Babak pertama sudah kami lewati. Ngerjain sekitar 100 soal dalam waktu  kurang lebih satu jam. Kini, tiba saatnya pengumuman tim yang akan masuk semifinal. Ada lima tim yang bakal kepilih. Pas diumumin, saya sih denger kalo tim I FoSEI UMS masuk semifinal. Kalo gak salah Tim I kami (machda, eno’, and me!) disebutin di urutan ketiga yang masuk semifinal. Nomor satunya kalo saya gak salah denger thu dari STIE Swastamandiri, STAIN Pekalongan, tim I FoSEI UMS. Dan, inilah percakapan kami berenam sesaat setelah pengumunan tim yang masuk semifinal pertama kali diperdengarkan :
Me                   :  “Alhamdulilah ya, kita masuk semifinal......”.
Machda           :  “Bukan kita Sep, UNS yang masuk”....
Bayu, dek Eno’, dek Fatimah, kak Islam         : “Iya, kayaknya kami dengernya UNS deh....”
Me                   :  “UNS thu nomor lima, tim I UMS tadi disebutin di urutan ke-3, coba deh dengerin sekali lagi pengumumannya...
Dan setelah diumumin sekali lagi, akhirnya temen-temen sadar juga kalo tim I FoSEI UMS masuk ke semifinal, allohu akbar...........

Di babak semifinal, saya mensupport kedua rekan saya Machda dan dek Eno’. We have to believe that we can. Saya mengatakan itu berulang-ulang kali. Dan akhirnya, dengan ridlo Allah kami berhasil masuk final dan menyabet juara II olimpiade Ekonomi Islam Temilreg 2011 ....

Itulah cerita di pertengahan April yang menurut saya harus diambil hikmahnya. Kenapa waktu pengumuman yang pertama cuma saya aja dari enam orang yang denger dan yakin kalo tim I FoSEI UMS masuk semifinal?? Setelah pengumuman yang kedua kalinya, kelima teman saya baru sadar dan yakin kalo tim I FoSEI UMS ternyata masuk semifinal.

Saya berkesimpulan bahwa waktu itu saya mendengar disertai keyakinan yang penuh bahwa tim kami akan jadi salah satu pemenang. Sementara kelima teman saya hanya mendengar saja, tanpa ada keyakinan KSEI kami bisa menang. As my opinion, KSEI kami memang bukan KSEI yang besar, tapi dengan kedisiplinan belajar, keyakinan, dan tentunya do’a kami bisa jadi juara di regional meski gak jadi yang pertama sih ...

Kesimpulan saya yang pertama, visi tanpa kedisiplinan untuk bekerja keras, keyakinan, dan do’a hanya akan menjadi imajinasi yang gak terjangkau. Sementara kerja keras, keyakinan, dan do’a tanpa visi yang benar dan jelas hanya akan membuang banyak waktu saja. Sewaktu berjibaku di babak final, saya sempet berdoa “Ya Allah berikanlah kami kesempatan untuk menyabet juara I”. Tapi ternyata, Allah memperkenankan kami jadi juara II.

Kenapa ya Allah gak mengabulkan keinginan saya agar KSEI kami menjadi juara I?? Perkiraan pribadi saya, mungkin dengan meraih juara II dan membawa pulang tropi maka saya dan teman-teman yang mengikuti olimpiade dapat memberikan sedikit siraman motivasi buat temen-temen anggota KSEI kami yang sepertinya sudah mulai kendor semangatnya. KSEI kami juga sepertinya butuh jadi juara, karna ternyata sudah sepuluh tahun gak pernah jadi juara.........awesome !!

Dan terakhir, kesimpulan saya yang kedua, keberhasilan itu ternyata bukan sebuah keinginan. Keberhasilan bagi diri saya pribadi adalah sebuah kebutuhan. Allah memberikan apa yang saya butuhkan, bukan apa yang saya mau J. Keep fighting !