“tidak
ada masalah berat dalam hidup ini. Yang ada hanyalah orang hebat yang selalu
menjadikan tantangan ringan bahkan yang berat sekalipun sebagai sahabat
karibnya...”
Masih teringat dalam memori saya sebuah
kejadian di pagi hari sesaat setelah saya tiba di sekolah. Waktu itu saya masih
duduk di kelas XII. Di pagi hari, seperti biasa, dari hari Senin hingga Sabtu,
saya naik bus ke sekolah bersama salah seorang teman saya, sebut saja Ola.
Kebetulan rumah Ola hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Semenjak SMP
kami sering berangkat bersama karna kebetulan kami bersekolah di tempat yang
sama pula.
Pagi itu kami berdua tiba di sekolah pukul
06.45 diantar sopir bus ATMO. Karna kebetulan tidak ada jam ke-0, kami berani
untuk berangkat ke sekolah agak siang. Ketika kami tiba di sekolah, tim guru
STP2K (biasanya dipanggil guru polisi sekolah karna hobinya merazia) sudah menyambut
para siswa di depan pintu gerbang. Para siswa ditegur agar melepas jaket
sebelum masuk ke area sekolah, diperingatkan agar bajunya dirapikan, serta
diperintahkan untuk melepas sepatu seperti yang saya alami !
Seminggu terakhir, isu yang sedang
hangat dibicarakan para siswa adalah kewajiban bagi setiap siswa untuk memakai
sepatu warrior atau sepatu yang
bertali. Belum ada kepastian langsung dari tim guru polisi misal dalam bentuk
sosialisasi yang clear kepada seluruh
siswa. Karena hanya kabar burung yang berhembus, maka hingga hari itu,
saya—dengan santainya masih memakai sepatu pantofel tanpa heels yang menjadi favorit saya. Bentuknya yang simpel dan nyaman
dipakai menjadikan saya hobi memakai sepatu itu. Tidak jauh berbeda dengan Ola.
Ia juga masih memakai model sepatu pantofel yang mirip dengan sepatu saya.
Saat berjalan di depan guru STP2K, perasaan
saya mulai gak enak. Sambil menundukkan kepala dan pura-pura gak tau kalo di
samping saya ada guru STP2K, saya langsung masuk gerbang dengan tenang. Eh,
ternyata ada salah seorang guru STP2K yang mengamati sepatu saya dan sepatu Ola
yang belum bertali. Guru mata pelajaran sejarah yang akrab dipanggil Mr. Smith
itu langsung menyuruh saya dan Ola untuk melepas sepatu pantopel kami.
“Kenapa kalian belum memakai sepatu bertali?
Sekarang kan siswa harus memakai sepatu bertali”, tegur Mr. Smith dengan wajah killernya.
Saya mulai membela diri. “Maaf Pak, saya belum pernah mendengar ada sosialisasi
aturan baru mengenai sepatu. Kalaupun sudah ada, saran saya sepertinya perlu
disosialisasikan lagi aturan baru itu” begitu bela saya. Akhirnya, karna saya tidak
ingin berdebat terlalu lama dengan Mr. Smith, langsung saja dengan sedikit
keraguan saya menjalani hukuman akibat tidak patuh pada peraturan baru. Saya
lepas sepatu yang saya pakai lalu saya letakkan di kantor guru sesuai perintah
Mr. Smith. Karena kelas saya berada di lantai 2, otomatis saya nyeker menaiki tangga menuju ke kelas.
Saya masih bertanya-tanya dalam hati
sambil mengingat-ingat apakah pernah ada sosialiasi peraturan baru tentang model
sepatu. Seingat saya belum pernah ada sosialisasi yang tegas tentang sepatu.
Karena itulah saya masih begitu percaya diri mengenakan sepatu tanpa tali pada
hari itu. Di saat saya merenung dalam perjalanan dari kantor guru menuju ke kelas,
saya sangat tidak menyangka kalau teman saya si Ola mulai menangis hingga air
mata keluar dari kelopak matanya yang sipit itu. Melihat raut muka Ola yang
begitu shock mungkin karena diminta
untuk melepas sepatu, saya memutuskan untuk menghentikan langkah sejenak sambil
merapat ke tembok di sisi tangga.
“Lhoh, kenapa nangis??? Shock ya dengan hukuman lepas sepatu?”
tanyaku pada Ola. Dengan terbata-bata sambil menahan air matanya Ola menjawab
“Aku malu Sep gak pake sepatu ke kelas. Pasti nanti diledekin temen-temen”
begitu jawabnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung menghibur si Ola yang
masih begitu shock karna harus
berjalan hanya beralaskan kaos kaki. “Halah, nyantai aja, yang pakai sepatu
merek nyeker men pasti banyak kok.
Kamu gak liat tadi banyak sepatu yang diparkir di kantor guru” hibur saya.
Akhirnya setelah Ola sedikit lebih tenang, saya nuntun dia menaiki tangga
menuju kelas. Kebetulan kelas saya berada tepat di sebelah timur tangga,
sementara kelas Ola berada di timur nan jauh dari tangga. Karna saya gak tega
melihat Ola jalan sendirian dengan malu-malu kucing, akhirnya saya antar dia
hingga ke kelasnya.
Saya agak tenang karna teman-teman gak
sempat meledek Ola. Setelah Ola duduk di kursinya, saya pun menuju kelas saya.
Dalam perjalanan menuju kelas, saya mengamati masih banyak teman-teman terutama
perempuan yang belum mematuhi aturan baru tentang sepatu bertali. Masih banyak yang
memakai model sepatu remaja gaul dan nampaknya lebih cocok dipakai untuk nongkrong di mall. Bahkan ada juga yang
memakai sepatu model elegan yang begitu cocok dipakai dalam acara resepsi pernikahan!
Dalam hati, saya berkata “Keadilan
harus ditegakkan nih”. Banyak yang gak taat peraturan baru, tapi hanya sedikit yang menanggung hukuman lepas
sepatu...
Tanpa pikir panjang, setelah saya menaruh
tas di kelas, saya putuskan untuk kembali menemui Mr. Smith di kantor guru
untuk melaporkan fenomena di lantai 2 yang berhasil saya amati. Di kantor, saya
melihat Mr. Smith sedang tidak melakukan aktivitas urgen. Jadi saya pikir ada
kesempatan untuk mengajukan keberatan saya.
“Permisi Pak, maaf mengganggu waktu
Bapak” sapa saya. “Ada apa lagi Sep?”tanyanya. “Bapak, saya sarankan naik ke
lantai 2. Saya melihat masih banyak teman-teman yang belum taat pada peraturan
baru. Banyak yang masih memakai sepatu tanpa tali, Pak. Tentunya mereka juga
harus diperintahkan untuk melepas sepatu kan. Bukankah aturan dan keadilan
mesti ditegakkan?” tanya saya.
Setelah mengajukan keberatan, saya
langsung kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran pada jam pertama. Jam
pertama, kami moving ke lab komputer.
Sewaktu kami sedang mengikuti pelajaran komputer di lab, tiba-tiba guru guru
STP2K lengkap satu kompi datang ke lab. Wah, sepertinya razia dadakan nih. Dan
ternyata benar, para guru STP2K datang dengan misi merazia. Mereka merazia satu
per satu siswa yang sepatunya tidak bertali. Walhasil, banyak temen-temen saya
yang akhirnya bernasib sama seperti saya yakni harus memarkir sepatunya di
kantor.
Setelah mata pelajaran komputer di
kelas selesai, saya dan teman-teman kembali ke kelas. Semakin banyak yang memakai
sepatu merek nyeker men. Teman-teman
menanggapi razia dadakan di pagi hari itu dengan kesal. Ada yang mengatakan
“Kok bisa ya, ada razia dadakan gini. Biasanya kalo ada rencana razia, langsung
pada tau...”
Saya cuma ketawa aja dalam hati sambil
membatin “Hore, akhirnya keadilan ditegakkan juga. Mr. Smith tergerak hatinya
untuk menegakkan aturan. Kalau teman-teman tau sayalah yang memberikan informasi
pada Mr. Smith, bisa-bisa saya dianggap tukang ngadu, hehehe....
Itulah sepenggal kenangan saya di bangku
SMA. Setelah kejadian itu, saya masih bertanya-tanya kenapa ya Si Ola yang
terkenal sangat jenius dalam mata pelajaran sains begitu cengeng menghadapi
tantangan sepele sewaktu diminta melepas sepatu.
Saya evaluasi diri saya. Saya merasa
begitu santai menghadapi situasi yang demikian. Ola, si calon dokter begitu shock dengan gertakan guru STP2K. Apa
mungkin dia kurang terlatih ya menghadapi unpredicted
condition???
Saya mulai merenung. Inikah yang
disebut Adversity Quotient ?? Baru
dua minggu yang lalu saya mengenal istilah itu dari syekh google. Adversity
Quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam merespon setiap
tantangan dan perubahan secara profesional. Saya memang kurang paham teori
tentang Adversity Quotient dan
seperti apa aplikasinya. Yang saya ketahui, orang yang memiliki kecerdasan
seperti ini selalu berusaha merangkul tantangan yang ada di depannya. Ia tidak
menjadi pesimis, takut, bahkan menderita lantaran hal-hal yang tidak
menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Ia sikapi setiap tantangan dan perubahan
dengan tangan terbuka dan tentunya sikap yang kreatif. Sehingga ia pun dapat
tetap fokus pada visi hidupnya, tanpa menjadi putus asa karena ia telah
berhasil merangkul tantangan dan perubahan dalam hidupnya. Saya berharap
pengalaman di masa SMA itu menjadi bibit kecerdasan adversiti dalam diri saya. Dan
saya berharap dapat terus mengasahnya. Embrace
the challenge !
0 komentar:
Posting Komentar