Hari ini terasa berbeda dari hari
kemarin. Berbeda, karena tepat pada hari ini hasil test SNMPTN 2011 diumumkan.
Bagi mahasiswa yang sudah kuliah selama empat semester seperti saya, apa
istimewanya pengumuman itu?
Salah satu kerabat saya mulai
menanyakan perihal test snmptn yang saya ikuti sebulan yang lalu. “Gimana hasil test snmptnnya? diterima dimana?”
begitu tanyanya.
Saya hanya terdiam seribu bahasa.
Terdiam agak lama di depan wastafel. Akhirnya
saya hanya menjawab dengan jawaban singkat, “belum liat pengumuman....”
***********
Sebelum saya berangkat ke kampus,
dengan sedikit terburu-buru, saya nyalakan laptop sambil berharap wifinya connect dengan hotspot kantor
kelurahan depan rumah. Setelah connect,
saya buka website snmptn.ac.id. Memasukkan nomor peserta (2114489864), dan
akhirnya . .
“selamat,
anda diterima pada pilihan kedua (ilmu ekonomi UGM)”
Segala puji bagi Allah, pengumuman
inilah yang saya nantikan selama sebulan terakhir ini. Seperti layaknya siswa
SMA yang baru saja lulus, saya sangat berharap dapat diterima di universitas
yang direspons masyarakat sebagai universitas terbaik di negeri ini yaitu
Universitas Indonesia. Tapi Allah berkehendak lain, karena saya diterima pada
pilihan kedua, bukan pertama.
Well ......
Pertanyaan yang mungkin dilontarkan teman-teman
ketika membaca tulisan ini adalah “ngapain
si Septi ikut tes SNMPTN?? Bukannya udah
2 tahun dia kuliah di UMS ???”....
Sejak tulisan ini dibuat, saya telah
menyelesaikan kurang lebih empat semester di kampus saya sekarang. Dua tahun
yang lalu, ketika status saya masih duduk di bangku kelas XII, saya mulai
memikirkan matang-matang perihal kelanjutan studi saya. Apa yang saya lakukan
mungkin terhitung agak terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan
teman-teman. Sebagian besar teman-teman sekelas saya telah merencanakan
kelanjutan studinya setelah SMA jauh-jauh hari sejak masih duduk di kelas X.
What
Passions Means?
Bagi siswa-siswi kelas XII pada
umumnya yang ingin melanjutkan studinya di perguruan tinggi dalam negeri, maka
tentu saja Perguruan Tinggi Negeri favoritlah yang dituju. As we know, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seperti UI, UGM, ITB
selalu menempati posisi tiga teratas dalam daftar perguruan tinggi yang paling
banyak diminati calon mahasiswa pada tes SNMPTN. Ada beberapa pertimbangan
mengapa hampir setiap siswa kelas XII memiliki keinginan agar diterima di salah
satu PTN favorit. Bagi seorang siswa kelas XII yang belum benar-benar menemukan
passion sejatinya (seperti saya),
memilih PTN favorit berarti memilih tempat yang baik untuk melakukan character building, tentunya sambil terus
fighting menemukan passion.
Tes masuk PTN yang saya ikuti pertama
kali adalah SIMAK UI. Saya mengambil jurusan psikologi pada pilihan pertama. Mengapa
psikologi? Karena saya ingin kuliah sambil menjalani proses self recognizing. Mungkin dengan kuliah
di psikologi saya akan mendapat banyak materi kuliah seputar pengembangan diri.
Begitu pikir saya.
Lalu apa pilihan keduanya? Sejujurnya,
saya tidak mengisi borang untuk pilihan kedua. “Passion saya di psikologi, kenapa mesti berharap diterima di jurusan
lain?” begitu pikir saya. Hingga kemudian sebulan setelah saya mengikuti tes
SIMAK UI, saya menerima hasil tes itu dan kali ini UI benar-benar telah MENOLAK
saya !!
Memutuskan
Tidak Ikut Tes Masuk PTN
Ada banyak tes masuk PTN. Mulai dari SIMAK
UI, UM UGM, UM UNDIP, USM ITB, UMB, hingga SNMPTN. Setelah saya ditolak menjadi
mahasiswi Fakultas Psikologi UI melalui jalur SIMAK UI, saya tidak mau terburu-buru
merencanakan mengikuti tes lain masuk PTN. Orang tua meminta saya untuk tetap stay di Solo. Jika demikian, berarti
saya harus kuliah di Solo. Kemungkinan yang akan terjadi, saya akan kuliah di
UNS atau UMS.
Keluarga, para guru, teman-teman,
tetangga, dan lainnya, semua mendukung agar saya kuliah di UNS saja. Perguruan
Tinggi Negeri selalu menjadi tempat pertama yang dituju para calon mahasiswa. Lagi-lagi
saya tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan untuk ikut tes masuk PTN.
Sewaktu saya belum mengambil kembali keputusan hendak kuliah dimana, diam-diam akhir-akhir
itu semangat saya terus bertambah dalam membaca literatur tentang perekonomian.
Sedikit cerita, artikel yang paling saya
suka dan membuat saya cukup tercengang adalah tulisan mengenai perjanjian Bretton Woods tahun 1944 di New
Hampshire. Artikel tersebut termuat
dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Pak Muhaimin Iqbal. Dalam artikel
tersebut, Pak Iqbal bercerita mengenai bagaimana kronologis mem-peg-kan uang fiat dengan emas hingga
kemudian pada tahun 1971 terjadilah apa yang disebut dengan Nixon Shock. Sejak saat itu, uang fiat
terutama Dollar AS tidak lagi di-peg-kan
dengan emas. Ada pula artikel yang masih up
to date tentang perkembangan bank syariah dalam dan luar negeri beserta perdebatan hangat mengenai tidak syar’inya
bank syariah.
Semua tulisan yang saya baca menampilkan
berbagai fenomena ekonomi yang membuat saya penasaran untuk memperdalamnya.
Semakin banyak saya membaca, semakin penasaran saya dibuatnya dan saya semakin
membayangkan betapa dahsyatnya diskusi saya dengan teman-teman sesama mahasiswa
ekonomi di kampus saya nanti.
Suatu hari, saya mendapatkan brosur
UMS dari salah seorang teman yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kampus
tersebut. Saya teliti brosur tersebut ternyata ada program studi baru di
Fakultas Ekonomi UMS yaitu Ekonomi Syari’ah. Pikiran saya yang telah “teracuni”
berbagai pengetahuan mengenai ekonomi membawa saya mempertimbangan program
studi baru di UMS itu. Beberapa pertimbangan yang saya ajukan kepada orang tua
saya bahwa – bismillah – saya telah RESMI memilih program studi
Ekonomi Syari’ah di UMS dan tidak akan mengikuti tes SNMPTN adalah :
- Saya ingin memperdalam ilmu ekonomi sekaligus ilmu dien, dan ini sesuai dengan jargon UMS yaitu Wacana Keilmuan dan Keislaman (Kemakan iklannya UMS nih...)
- Biaya kuliah di UMS memang sedikit lebih mahal, namun tidak begitu mahal kalau dibandingkan dengan biaya kuliah di luar kota.
- Alasan yang paling membuat saya bersemangat adalah saya ingin paham perbedaan sistem ekonomi islam dengan kapitalis.
- Saya ingin memperdalam ilmu ekonomi sekaligus ilmu dien, dan ini sesuai dengan jargon UMS yaitu Wacana Keilmuan dan Keislaman (Kemakan iklannya UMS nih...)
- Biaya kuliah di UMS memang sedikit lebih mahal, namun tidak begitu mahal kalau dibandingkan dengan biaya kuliah di luar kota.
- Alasan yang paling membuat saya bersemangat adalah saya ingin paham perbedaan sistem ekonomi islam dengan kapitalis.
Itulah beberapa alasan yang saya
ajukan kepada orang tua. Sebelumnya, saya telah terlebih dahulu mempersiapkan
diri menghadapi semua konsekuensi yang harus saya jalani karena telah memilih
secara langsung universitas swasta tanpa mengikuti terlebih dahulu tes masuk
PTN. Awalnya orang tua agak sedikit berat merestui saya untuk kuliah di PTS. Anggapan
orang tua saya hampir sama dengan anggapan kebanyakan orang bahwa PTN memiliki
kualitas yang jauh lebih baik dari PTS. Bapak dan Ibu berharap saya kuliah di
UNS saja, namun pada akhirnya mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan
saya.
Dua
tahun di UMS
Terus terang saja, awalnya saya merasa
bahagia belajar di universitas ini. Banyak sekali ilmu-ilmu yang belum saya
ketahui sebelumnya. Meski fokus saya ekonomi, tetapi saya dan teman-teman
sejurusan juga diperkenalkan dengan ilmu-ilmu seperti fiqh, tafsir, filsafat,
serta hukum. Bahagia rasanya berada di lautan ilmu yang sepertinya sangat luas.
Terkadang, karena banyaknya materi yang membuat saya penasaran dan harus saya
pelajari, menjadikan saya sering berkata dalam hati ”biarkan aku belajar dan pahami tentang materi ini dulu Pak Dosen,
jangan tambah materi yang lain....”
Berada di lautan ilmu yang bermanfaat,
membuat saya begitu bahagia. Tapi kebahagiaan ini tidak saya rasakan dalam
pergaulan saya dengan teman-teman sekelas. Saya mengenal diri saya sebagai
seorang yang sangat menyukai kompetisi. Suasana belajar di kelas saya semasa
SMA sangat kompetitif. Kami bersaing ketat untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Kini, suasana persaingan sehat yang challenging
itu sama sekali tidak saya dapati di kelas saya. Entahlah, untuk yang satu itu
membuat saya sering merasa kurang bersemangat dalam belajar.
Aneh memang. Saya begitu sadar bahwa
pikiran saya sedikit banyak masih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti contohnya
ketika dua tahun lalu saya mengambil keputusan untuk kuliah di universitas ini
lantaran banyak membaca buku tentang ekonomi. Dan sekarang, saya mulai
merasakan lemas alias tidak bersemangat dalam belajar karena rata-rata teman
sekelas saya memiliki pola belajar yang berbeda dengan saya. Sejujurnya, saya
kurang suka menjadi seorang siswa yang rajin belajar hanya ketika menjelang
ujian. Tapi selama dua tahun ini, hal itulah yang dilakukan rata-rata teman
saya.
Saya seperti kehilangan spirit belajar
mandiri. Kondisi lingkungan begitu mempengaruhi semangat belajar saya. Semangat
saya tidak lagi menggebu seperti ketika menjelang masuk perguruan tinggi ini.
Ketika saya mulai menyaksikan fenomena di program studi saya yang cukup aneh
seperti adanya konflik dosen dengan mahasiswa, konflik antardosen, dan konflik
antarmahasiswa membuat pikiran saya menjadi begitu buruk. Saya bertanya dalam
hati ”lingkungan macam apa ini ?”
Saya terus memohon ampun kepada Allah
atas pikiran saya yang terlalu negatif dalam memandang lingkungan tempat saya
belajar. Saya terus meyakinkan diri saya bahwa lingkungan di sini tidak
sepenuhnya buruk. Masih banyak hal-hal positif yang harus saya cari di kampus
ini.
Namun, suatu hari saya benar-benar
tidak kuasa menahan kebosanan saya berada di lingkungan kelas saya. Ada suatu
hal yang terjadi, yang sebenarnya bukan hal besar, namun cukup membuat saya
kembali tidak bersemangat dalam belajar. Pada hari itu, kelas kami mendapatkan
tugas Ekonomi Moneter yang terdiri dari 5 pertanyaan esai yang harus dijawab
secara lengkap. Dosen mata kuliah Moneter meminta kami pergi ke perpustakaan
agar kami dapat menyelesaikan soal tersebut. Teman-teman begitu sibuk mencari
jawaban tugas dalam buku-buku Moneter yang tebal-tebal. Sebagian yang lain
hanya duduk-duduk sambil mengobrol, berharap mendapatkan contekan dari temannya
yang sudah terlebih dahulu menemukan jawaban.
Menurut saya, jawaban soal-soal
tersebut cukup mudah. Bukan karena saya sok bisa, tetapi memang soal-soal
tersebut pernah dibahas di kelas. Saya dengan cepat menjawab soal-soal tersebut
sambil sesekali berdiskusi dengan beberapa teman yang mau saya ajak diskusi.
Akhirnya saya berhasil menyelesaikan soal itu. Namun, saya heran, teman yang
tadi saya ajak diskusi justru ingin meminjam jawaban saya. Dan hal itu diikuti
pula oleh teman-teman yang lain. Waktu itu dalam hati saya berkata “Kenapa teman-temanku males mikir???”
Saya pasrah. Allah sedang menguji
kesabaran saya. Allah sedang menguji kesungguhan saya dalam mempertahankan visi
saya sejak awal, yaitu mendalami ekonomi dan Islam. Meski saya sadar harus
tetap sabar, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti tes SNMPTN tahun ini. Ada
sedikit harapan dalam hati untuk pindah di universitas yang lebih kondusif
lingkungannya untuk belajar. Hingga akhirnya saya mantap untuk mengikuti tes
SNMPTN 2011. Saya mengerti konsekuensi yang mesti saya tanggung jika saya
diterima di salah satu PTN apakah itu UI atau UGM. Konsekuensi yang harus saya
tanggung adalah kekecewaan kedua orang tua saya jika saya benar-benar “lari” dari
kampus saya sekarang ini....