Manusia
sering bertanya, untuk apa sebenarnya Allah menciptakannya. Pertanyaan itu
sering muncul terutama ketika ia sedang menghadapi sesuatu yang tak
menyenangkan (lagi-lagi saya menyebutnya tantangan). Tak jarang, pertanyaan itu
diiringi dengan pikiran-pikiran melankolis seperti untuk apa Allah menciptakan
manusia kalau hanya dihadapkan pada tantangan yang bertubi-tubi silih berganti.
Dalam
hidup, selalu terjadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Selalu
ada dua hal yang berkebalikan dalam hidup ini. Terkadang manusia berpikir
egois, ia menganggap sesuatu yang tak menyenangkan itu tak baik baginya, begitu
pula sebaliknya, bahwa sesuatu yang menyenangkan itu sangat menguntungkan
baginya. Pikiran semacam ini berindikasi pada penafian ‘tangan’ Allah.
Seakan-akan semua yang terjadi, baik menyenangkan atau tidak, terjadi begitu
saja. Hingga secara dzahir manusia berkesimpulan bahwa yang menyenangkan pasti
baik dan yang tidak menyenangkan sudah pasti buruk untuk si manusia.
Berbicara
tentang hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam hidup, hendaklah tak
hanya menggunakan logika keegoisan semata. Kalau hanya menggunakan logika yang egois,
akibatnya kesimpulan yang ada cenderung menganggap yang menyenangkan pasti
baik, begitu pula sebaliknya. Sisi keegoisan manusia selalu mengukur segala
sesuatu dimulai dari menyenangkan atau tidak bagi dirinya. Padahal jika si
manusia yakin akan ‘tangan’ Allah, maka seharusnya ia berpikir dengan logika
bijak bahwa sebagai khalifah, ia pantas diuji dengan bertubi-tubi tantangan
yang tak menyenangkan. Sang Khalifah sudah selayaknya menyertakan ‘tangan’
Allah dalam setiap proses berpikirnya karena Ia lah yang menunjuk manusia menjadi
wakilNya di bumi.
memang begitulah fitrah cara berfikir manusia,. Allah pun sudah memberi gambaran dan solusinya di surat al-ma'arij
BalasHapussemoga bisa memenuhi kriteria2 yg disebutkan di surat tersebut.
:)