Minggu, 02 Oktober 2011

Is This an Adversity Quotient?


tidak ada masalah berat dalam hidup ini. Yang ada hanyalah orang hebat yang selalu menjadikan tantangan ringan bahkan yang berat sekalipun sebagai sahabat karibnya...”



Masih teringat dalam memori saya sebuah kejadian di pagi hari sesaat setelah saya tiba di sekolah. Waktu itu saya masih duduk di kelas XII. Di pagi hari, seperti biasa, dari hari Senin hingga Sabtu, saya naik bus ke sekolah bersama salah seorang teman saya, sebut saja Ola. Kebetulan rumah Ola hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Semenjak SMP kami sering berangkat bersama karna kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama pula.

Pagi itu kami berdua tiba di sekolah pukul 06.45 diantar sopir bus ATMO. Karna kebetulan tidak ada jam ke-0, kami berani untuk berangkat ke sekolah agak siang. Ketika kami tiba di sekolah, tim guru STP2K (biasanya dipanggil guru polisi sekolah karna hobinya merazia) sudah menyambut para siswa di depan pintu gerbang. Para siswa ditegur agar melepas jaket sebelum masuk ke area sekolah, diperingatkan agar bajunya dirapikan, serta diperintahkan untuk melepas sepatu seperti yang saya alami !

Seminggu terakhir, isu yang sedang hangat dibicarakan para siswa adalah kewajiban bagi setiap siswa untuk memakai sepatu warrior atau sepatu yang bertali. Belum ada kepastian langsung dari tim guru polisi misal dalam bentuk sosialisasi yang clear kepada seluruh siswa. Karena hanya kabar burung yang berhembus, maka hingga hari itu, saya—dengan santainya masih memakai sepatu pantofel tanpa heels yang menjadi favorit saya. Bentuknya yang simpel dan nyaman dipakai menjadikan saya hobi memakai sepatu itu. Tidak jauh berbeda dengan Ola. Ia juga masih memakai model sepatu pantofel yang mirip dengan sepatu saya.

Saat berjalan di depan guru STP2K, perasaan saya mulai gak enak. Sambil menundukkan kepala dan pura-pura gak tau kalo di samping saya ada guru STP2K, saya langsung masuk gerbang dengan tenang. Eh, ternyata ada salah seorang guru STP2K yang mengamati sepatu saya dan sepatu Ola yang belum bertali. Guru mata pelajaran sejarah yang akrab dipanggil Mr. Smith itu langsung menyuruh saya dan Ola untuk melepas sepatu pantopel kami.

“Kenapa kalian belum memakai sepatu bertali? Sekarang kan siswa harus memakai sepatu bertali, tegur Mr. Smith dengan wajah killernya. Saya mulai membela diri. “Maaf Pak, saya belum pernah mendengar ada sosialisasi aturan baru mengenai sepatu. Kalaupun sudah ada, saran saya sepertinya perlu disosialisasikan lagi aturan baru itu” begitu bela saya. Akhirnya, karna saya tidak ingin berdebat terlalu lama dengan Mr. Smith, langsung saja dengan sedikit keraguan saya menjalani hukuman akibat tidak patuh pada peraturan baru. Saya lepas sepatu yang saya pakai lalu saya letakkan di kantor guru sesuai perintah Mr. Smith. Karena kelas saya berada di lantai 2, otomatis saya nyeker menaiki tangga menuju ke kelas.

Saya masih bertanya-tanya dalam hati sambil mengingat-ingat apakah pernah ada sosialiasi peraturan baru tentang model sepatu. Seingat saya belum pernah ada sosialisasi yang tegas tentang sepatu. Karena itulah saya masih begitu percaya diri mengenakan sepatu tanpa tali pada hari itu. Di saat saya merenung dalam perjalanan dari kantor guru menuju ke kelas, saya sangat tidak menyangka kalau teman saya si Ola mulai menangis hingga air mata keluar dari kelopak matanya yang sipit itu. Melihat raut muka Ola yang begitu shock mungkin karena diminta untuk melepas sepatu, saya memutuskan untuk menghentikan langkah sejenak sambil merapat ke tembok di sisi tangga.

“Lhoh, kenapa nangis??? Shock ya dengan hukuman lepas sepatu?” tanyaku pada Ola. Dengan terbata-bata sambil menahan air matanya Ola menjawab “Aku malu Sep gak pake sepatu ke kelas. Pasti nanti diledekin temen-temen” begitu jawabnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung menghibur si Ola yang masih begitu shock karna harus berjalan hanya beralaskan kaos kaki. “Halah, nyantai aja, yang pakai sepatu merek nyeker men pasti banyak kok. Kamu gak liat tadi banyak sepatu yang diparkir di kantor guru” hibur saya. Akhirnya setelah Ola sedikit lebih tenang, saya nuntun dia menaiki tangga menuju kelas. Kebetulan kelas saya berada tepat di sebelah timur tangga, sementara kelas Ola berada di timur nan jauh dari tangga. Karna saya gak tega melihat Ola jalan sendirian dengan malu-malu kucing, akhirnya saya antar dia hingga ke kelasnya. 

Saya agak tenang karna teman-teman gak sempat meledek Ola. Setelah Ola duduk di kursinya, saya pun menuju kelas saya. Dalam perjalanan menuju kelas, saya mengamati masih banyak teman-teman terutama perempuan yang belum mematuhi aturan baru tentang sepatu bertali. Masih banyak yang memakai model sepatu remaja gaul dan nampaknya lebih cocok dipakai untuk nongkrong di mall. Bahkan ada juga yang memakai sepatu model elegan yang begitu cocok dipakai dalam acara resepsi pernikahan!

Dalam hati, saya berkata “Keadilan harus ditegakkan nih”. Banyak yang gak taat peraturan baru,  tapi hanya sedikit yang menanggung hukuman lepas sepatu...

Tanpa pikir panjang, setelah saya menaruh tas di kelas, saya putuskan untuk kembali menemui Mr. Smith di kantor guru untuk melaporkan fenomena di lantai 2 yang berhasil saya amati. Di kantor, saya melihat Mr. Smith sedang tidak melakukan aktivitas urgen. Jadi saya pikir ada kesempatan untuk mengajukan keberatan saya.

“Permisi Pak, maaf mengganggu waktu Bapak” sapa saya. “Ada apa lagi Sep?”tanyanya. “Bapak, saya sarankan naik ke lantai 2. Saya melihat masih banyak teman-teman yang belum taat pada peraturan baru. Banyak yang masih memakai sepatu tanpa tali, Pak. Tentunya mereka juga harus diperintahkan untuk melepas sepatu kan. Bukankah aturan dan keadilan mesti ditegakkan?” tanya saya.  

Setelah mengajukan keberatan, saya langsung kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran pada jam pertama. Jam pertama, kami moving ke lab komputer. Sewaktu kami sedang mengikuti pelajaran komputer di lab, tiba-tiba guru guru STP2K lengkap satu kompi datang ke lab. Wah, sepertinya razia dadakan nih. Dan ternyata benar, para guru STP2K datang dengan misi merazia. Mereka merazia satu per satu siswa yang sepatunya tidak bertali. Walhasil, banyak temen-temen saya yang akhirnya bernasib sama seperti saya yakni harus memarkir sepatunya di kantor.

Setelah mata pelajaran komputer di kelas selesai, saya dan teman-teman kembali ke kelas. Semakin banyak yang memakai sepatu merek nyeker men. Teman-teman menanggapi razia dadakan di pagi hari itu dengan kesal. Ada yang mengatakan “Kok bisa ya, ada razia dadakan gini. Biasanya kalo ada rencana razia, langsung pada tau...”

Saya cuma ketawa aja dalam hati sambil membatin “Hore, akhirnya keadilan ditegakkan juga. Mr. Smith tergerak hatinya untuk menegakkan aturan. Kalau teman-teman tau sayalah yang memberikan informasi pada Mr. Smith, bisa-bisa saya dianggap tukang ngadu, hehehe....

Itulah sepenggal kenangan saya di bangku SMA. Setelah kejadian itu, saya masih bertanya-tanya kenapa ya Si Ola yang terkenal sangat jenius dalam mata pelajaran sains begitu cengeng menghadapi tantangan sepele sewaktu diminta melepas sepatu.

Saya evaluasi diri saya. Saya merasa begitu santai menghadapi situasi yang demikian. Ola, si calon dokter begitu shock dengan gertakan guru STP2K. Apa mungkin dia kurang terlatih ya menghadapi unpredicted condition???

Saya mulai merenung. Inikah yang disebut Adversity Quotient ?? Baru dua minggu yang lalu saya mengenal istilah itu dari syekh google. Adversity Quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam merespon setiap tantangan dan perubahan secara profesional. Saya memang kurang paham teori tentang Adversity Quotient dan seperti apa aplikasinya. Yang saya ketahui, orang yang memiliki kecerdasan seperti ini selalu berusaha merangkul tantangan yang ada di depannya. Ia tidak menjadi pesimis, takut, bahkan menderita lantaran hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Ia sikapi setiap tantangan dan perubahan dengan tangan terbuka dan tentunya sikap yang kreatif. Sehingga ia pun dapat tetap fokus pada visi hidupnya, tanpa menjadi putus asa karena ia telah berhasil merangkul tantangan dan perubahan dalam hidupnya. Saya berharap pengalaman di masa SMA itu menjadi bibit kecerdasan adversiti dalam diri saya. Dan saya berharap dapat terus mengasahnya. Embrace the challenge !





0 komentar:

Posting Komentar