Minggu, 18 November 2012

Kontribusi Cendikiawan Muslim Dalam Perkembangan Ilmu Ekonomi



Umat Islam telah lama mengimpor ilmu-ilmu sosial dari barat, tidak terkecuali ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi telah diajarkan sebagai sebuah obyek yang vital di seluruh sekolah formal dan perguruan tinggi. Apa yang diajarkan tersebut tidaklah berbeda dengan apa yang diajarkan sekolah-sekolah di barat. Jarang sekali ada upaya menganalisis manfaat yang diperoleh barat sendiri maupun manfaat jangka panjang bagi dunia Islam. Alih-alih menganalisis manfaat jangka panjang, umat Islam terlalu sering mengadopsi secara penuh apa yang dilihatnya dari barat.
Dunia Islam telah lama mengadopsi semua yang berbau barat mulai dari aspek politik, ekonomi, bahkan intelektualisme yang terkesan tunduk pada barat. Wacana keilmuan, dalam hal ini ilmu ekonomi yang diadopsi dari barat dipertahankan tanpa ada sterilisasi dari aspek materialis dan sekuler. Hal ini pernah diduga oleh Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya Muqaddimah, bahwa bangsa yang terjajah selalu meniru mode penjajah, baik dalam gaya busana, kendaraan, senjata dan penggunaannya, serta jenis dan bentuknya, bahkan dalam semua aktivitas, kebiasaan dan perilakunya. [1]
Di sekolah maupun perguruan tinggi di negara muslim, ilmu ekonomi seringkali diajarkan tanpa ada kritikan berdasarkan paradigma agama Islam dan lebih parah lagi tanpa menyebutkan kontribusi yang telah disumbangkan para cendikiawan muslim sekaliber Ibnu Khaldun. Para mahasiswa seringkali mendengar Adam Smith (1723-1790) sebagai bapak ilmu ekonomi, Ricardo (1772-1823), Malthus (1766-1830), Marshall (1842-1924), dan Keynes (1881-1946), tetapi sekali lagi amat jarang mendengar kontribusi yang disumbangkan oleh cendikiawan muslim karena seperti sudah diperkirakan, buku-buku ekonomi teks barat tidak pernah menyebutkan tokoh-tokoh ini. Memang kesalahan ini terletak sebagian pada pundak kaum muslimin karena tidak menekankan secara memadai kontribusi-kontribusi kaum muslimin, juga terletak di pundak barat karena tidak memberikan pengakuan kepada peradaban lain atas sumbangan yang diberikan kepada perkembangan ilmu pengetahuan.[2]
Salah satu penulis sejarah pemikiran ekonomi Joseph Scumpeter misalnya, setelah membahas kontribusi bangsa Yunani-Romawi dalam tesisnya History of Economic Analysis, benar-benar mengabaikan periode muslim dan ia melompat melewati “gap besar” dari “lebih dari 500 tahun” menuju epos St. Thomas Aquinas (1225-1274)[3]. Scumpeter menyimpulkan terjadinya great gap antara periode bangsa Yunani dan zaman skolastik. Kesenjangan yang diperkirakan terjadi selama lebih dari 500 tahun tersebut dianggap sebagai sebuah masa yang steril dan tidak produktif. Tesis ini menyebabkan tercerabutnya teori ekonomi modern dari moral dan etis yang telah dibangun oleh ilmuan muslim di abad XIII.
Scumpeter nampaknya tidak menengok ke timur saat menulis tesisnya. Kesenjangan besar selama lebih dari 500 tahun yang dianggap sebagai dark age pada bangsa barat justru merupakan masa keemasan di dunia Islam. Abad pertengahan adalah masa keemasan bagi dunia Islam. Pada abad ini, ilmu ekonomi telah dibangun secara teoritis oleh ilmuan muslim meskipun tidak dalam satu bidang khusus ataupun dalam satu karya yang utuh membahas ekonomi. Pecahan-pecahan teori ekonomi dengan mudah ditemukan hampir di setiap karya ilmuan muslim ketika itu. Bahkan saat melihat karya Saint Thomas Aquinas summa theologica misalnya, mengingatkan secara utuh akan karya Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Nama-nama lain seperti Ibnu Sina (Avicenna, w.428/1037) atau Ibnu Rusyd (Avirroes, w.595/1198) juga muncul pada hampir di setiap halaman buku-buku yang ditulis para filosof skolastik.[4] Hal ini membuktikan bahwa kontribusi bangsa Yunani terhadap ilmu pengetahuan dapat dinikmati barat berkat kontribusi yang kaya dari ilmuan muslim. 
Andai Scumpeter menyadari bahwa sejarah ilmu pengetahuan berlangsung secara kontinyu, karya yang telah disusunnya tentunya tak akan menyebabkan blind spot dalam sejarah pemikiran ekonomi. Jika perkembangan ilmu pengetahuan disadari sebagai sebuah bentuk proses evolusioner yang berkelanjutan, maka ia tak akan menarik kesimpulan adanya kesenjangan yang besar selama lebih dari 500 tahun. Karena justru ia akan menemukan fondasi dimana sarjana barat dan filosof skolastik membangun menara intelektual mereka.
Wallohu a’lam bishowab.

Referensi
Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi. Jakarta : Gema Insani
Khaldun, Ibnu. 2001. Muqaddimah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Schumpeter, J.Aloys. 1954. History of Economic Analysis. New York : Oxford University Press.

Dipublish di majalah Balans edisi Agustus 2012.




[1] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cetakan Ketiga, hlm. 237.

[2] Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani, 2001). Cetakan Pertama. hlm. 218

[3] J.Aloys Schumpeter, History of Economic Analysis, (New York : Oxford University Press, 1954). hlm. 73-74

[4] Chapra, Op.Cit., 219.

Minggu, 11 November 2012

Karena Kuliah Aja Gak Cukup !


Rutinitas kuliah menjadi santapan harian mahasiswa. Yang masih semester awal mungkin masih bekerja keras untuk mengatasi shock culture karena budaya yang ia temui di SMA ternyata jauh berbeda dengan budaya di kampus. Jika biasanya di SMA siswa belajar dengan durasi lebih dari delapan jam, bahkan lebih ketika harus digodok menjelang UN, kini mereka harus bersiap belajar secara formal di dalam kelas hanya dalam empat jam saja bahkan dua jam!. Banyak mahasiswa yang menghabiskan sisa harinya dengan banyak hal. Bisa jalan-jalan, konkow-konkow, kerja, atau tidur di kos.

Disadari atau tidak, masa awal kuliah menjadi masa keemasan yang kadang mengkhawatirkan. Dari sinilah perjalanan panjang perkuliahan selama hampir empat tahun akan dimulai. Masa permulaan kuliah adalah waktu yang sangat tepat untuk memilih apakah akan menjadi pribadi yang disibukkan dengan hal positif yakni dengan mengikuti kegiatan berorganisasi yang bermanfaat di kampus, atau justru menjadi pribadi apatis yang banyak menghabiskan waktu yang tersisa dengan sia-sia.

Lalu, adakah mahasiswa semester atas yang merasakan kegalauan karena tak memanfaatkan fase keemasan di awal perkuliahannya? Jawabannya pasti ada. Banyak dari mereka yang menyesal mengapa dulu tidak pernah ikut beberapa kegiatan akademis yang ditawarkan organisasi kampus yang menunjang akademis dan peningkatan kompetensi individu. Ada begitu banyak opportunity yang ditawarkan organisasi intra maupun ekstra kampus yang ternyata sangat bermanfaat untuk menempa kompetensi diri. Akhirnya, yang menyedihkan adalah ketika lulus para mahasiswa yang tak rajin memanfaatkan opportunity ini menjadi pribadi yang tanggung. Mereka memiliki gelar, namun kosong dalam kompetensi.

Ada pula mahasiswa yang begitu idealis terlalu asyik mensibukkan diri dalam aktivitas organisasi. Hal ini terkadang membuatnya tidak semangat masuk kuliah bahkan terkadang mereka meninggalkan amanah orang tua untuk lulus tepat waktu. Mahasiswa penuh hasrat berorganisasi ini menghabiskan waktu luangnya untuk berbagai acara yang diseleggarakan organisasi yang ia ikuti. Rutinitas organisasinya tak jarang membuatnya lupa bahwa ada hal yang seharusnya menjadi prioritas. Ini dapat kita lihat dari wajah mahasiswa abadi yang cukup banyak di kampus.

Menjadi mahasiswa, berarti harus siap menempa diri untuk memanage waktu sebaik-baiknya. Begitu pula harus siap melihat kompetensi diri dan pandai mencium aroma opportunity yang ditawarkan berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Karena itulah sebelum menyesal, mulai sekarang hendaknya mahasiswa memilih berbagai kegiatan dan organisasi yang benar-benar menunjang karir dan akademiknya. Kegiatan organisasi menjadi laboratorium atas ilmu yang didapat di kelas. Karena disadari atau tidak, banyak hambatan yang dialami mahasiwa di kelas. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan fisik maupun non-fisik. Fasilitas belajar yang tidak memadai, metode belajar yang konvensional dan terkesan hanya sebatas rutinitas, referensi pelajaran yang terbatas, hingga dosen yang tidak kompeten adalah penghalang bagi mahasiswa dalam mengatasi kehausan akan ilmu pengetahuan. Jadi percayalah, kuliah aja gak cukup!

Dipublish di Koran Pabelan Desember 2012.