Selasa, 24 April 2012

Niat Mana yang Lebih Lurus?

Ketika seorang muslim mendeklarasikan diri untuk menerima Islam sebagai satu-satunya Dien yang haq, maka konsekuensinya adalah ia harus mau menerima secara kaaffah segala bentuk ketentuan yang diatur dalam Islam. Kaaffah yang dimaksud disini adalah tidak tebang pilih. Artinya, segala aturan yang benar yang bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasul harus diterima dan dilaksanakan dengan ikhlas. Jadi tidak hanya aturan yang dianggap sejalan dengan keinginan saja yang diterima dan dilaksanakan, sementara aturan lain yang menurut hawa nafsu tidak membawa keuntungan ditinggalkan begitu saja.

Sejak resesi melanda perekonomian negara-negara maju, masyarakat dunia mulai mengalihkan pandangannya dari sistem ekonomi konvensional berbasis riba ke sistem ekonomi syari’ah berbasis bagi hasil dan partnership. Hal ini mulai ditandai dengan ditambahnya divisi pada lembaga perbankan di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia, dari yang semula hanya divisi konvensional bertambah menjadi divisi syari’ah. Fenomena semakin populernya istilah mudharabah, ijarah, musyarakah, rahn, wadi’ah seakan menjadi awal bangkitnya perekonomian yang menggunakan sistem islami. Para penggerak lembaga keuangan syariah, dalam hal ini para ekonom atau bankir muslim khususnya di Indonesia tentunya memiliki motivasi berbeda dengan kalangan non-muslim yang juga melirik pertumbuhan lembaga keuangan syariah yang makin subur.  

Para penggerak lembaga keuangan syariah seharusnya paham betul betapa sistem ekonomi Islam itu harus dijalankan. Semangat untuk kembali pada sistem syari’ah didasari oleh niat tulus ikhlas ingin kembali pada aturan Allah, menerima, serta melaksanakannya. Berbeda dari motivasi kalangan non-muslim yang melirik kehadiran lembaga keuangan syariah dengan semata-mata pertimbangan profit dan tren. Ketahanan sistem syari’ah terhadap krisis yang melanda dunia menjadikan penduduk dunia berlomba-lomba membangun lembaga keuangan berbasis syari’ah. 

Sistem ekonomi Islam yang hakikatnya Islam itu sendiri dalam kondisi apapun harus berusaha ditegakkan oleh setiap muslim dalam hal ini para ekonom atau bangkir muslim. Sehingga ketika ada bukti historis bahwa ekonomi yang ditawarkan Islam telah mampu memberikan kejayaan selama 1.300 tahun, mulai dari zaman Abu Bakar RA (632 M) sampai zaman Abdul Majid II (1924) hanyalah menjadi sebuah konsekuensi logis atas ditegakkannya sistem syari’ah di muka bumi. 

Sebuah bangunan yang kokoh memerlukan pondasi yang kokoh pula. Tidak ada yang salah ketika masyarakat melirik sistem syari’ah akhir-akhir ini terutama sejak isu krisis global merebak. Yang perlu diluruskan adalah ketika sistem syari’ah ini dipakai hanya karena terlarut dalam euforia lembaga keuangan berbasis syariah. Lebih ironis lagi, ketika logika untung-untungan dijadikan dasar menerapkan prinsip syariah dalam praktek lembaga keuangan. Motivasi seperti ini nampaknya kurang mendukung bahkan sama sekali sekali tidak mendukung tegaknya aturan Islam di muka bumi. Oleh karena itu umat Islam perlu melihat kembali motivasinya dalam upaya menegakkan kembali kejayaan dienul Islam. Bukankah kita diperintahkan untuk menerima Islam yang kita pilih sebagai Dien secara kaaffah? Maka segala aturan syara’ mengenai aktivitas ekonomi semestinya dijalankan atas dasar menjalankan konsekuensi sebagai seorang Muslim, bukannya menginginkan profit yang maksimal maupun larut dalam euforia. Semoga kita bisa menjadi bagian dari penjayaan kembali Islam di muka bumi dengan niat yang lurus untuk mencari keridloan Allah semata.

Buku Nol Ekspresi

Seorang murid sekolah menengah pertama mengaku tak begitu suka membaca buku. Padahal ia  punya puluhan buku di rak dan sebagian di gudang rumahnya. Buku itu ia kumpulkan dari semenjak usianya masih begitu belia, enam tahun tepatnya ketika memasuki sekolah dasar kelas pertama. Ia mengaku bosan dengan semua buku yang dimilikinya. Ia menilai semua buku itu hanya terlihat bagus saat menjelang ulangan, dan tentu saja ujian sekolah. Hingga sehari-hari ia hanya mampu menatap barisan buku-buku itu tanpa ada hasrat untuk segera melahapnya.

Kata Ibu Bapak Guru seorang siswa harus gemar membaca. Membaca pangkal pandai. Namun kenyataan yang sering ditemukan pandai tak lagi menjadi sebuah pencapaian dari membaca, karena sang murid enggan menengok isi buku terkecuali di saat ia akan menghadapi ulangan. Ada apa dengan semua buku itu? Buku itu mungkin bergizi, kaya isi. Ya betul kaya isi, namun miskin ekspresi. Lihat saja mimik wajah sang murid saat membuka lembaran demi lembaran buku-buku yang miskin ekspresi itu. Matanya ingin segera beralih ke halaman lain, tak ada senyum kegembiraan, dan tentunya nol ekspresi.

Kini sang murid mulai merasa lega. Ia menemukan puluhan buku-buku yang lebih bergizi dari semua buku pelajarannya. Ia temukan banyak gambar makhluk hidup di buku yang baru saja dikenalnya. Namun sayang, buku yang terkesan seperti buku cerita itu tak dipandang baik keberadaannya oleh orang tua maupun gurunya. Mereka menganggap buku-buku cerita bergambar itu hanya membuat sang murid malas belajar. Sang murid menjadi semakin enggan membuka buku pelajaran, bahkan saat menjelang ujian. Tak ada yang menyangka bahwa buku cerita yang kaya ekspresi ini membuat sang murid lebih rajin membacanya. Tak cukup membaca, ia juga berlatih memikirkan semua gambar-gambar dan tulisan berwarna-warni yang menghiasi buku cerita di hadapannya. Ia tak ingin berpisah dari semua buku yang didambakannya itu. Ia hanya merasa takut jika buku-buku itu disita oleh orang tuanya dan digantikan dengan lebih banyak buku pelajaran yang menjemukan.

Sang murid berhasil menciptakan sebuah ikatan positif antara dirinya dan buku cerita bergambar yang baru ia temukan di toko buku. Pikirannya mulai bermain-main ke alam yang tak menentu, ke alam imajinasi yang tak terbatas. Buku cerita bergambar dan berwarna-warni telah membuat ia terus berpikir ke dunia tanpa batas. Emosi positif telah berhasil ia bangun. Emosi positif untuk membaca semua buku full eksoresi ini, buka buku-buku tanpa ekspresi yang tertumpuk di rak dan gudang rumahnya.


Rabu, 11 April 2012

Sang Khalifah dan God’s Pharmachopoeia


Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diperintahkan untuk berjalan di muka bumi yang sangat luas ini. Perintah ini bukan tanpa alasan. Sebagai wakil Allah di bumi, sang khalifah ditugaskan untuk menebar kebaikan dimanapun ia berada dan memberantas keburukan dimanapun kakinya berpijak. Tantangan untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar semakin berat dirasakan tatkala sang khalifah berada dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tantangan yang ia hadapi tak hanya di seputar sangkar emas kediamannya saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu di tiap tempat ia menghentikan langkah.

Hidup dalam dimensi waktu dan tempat berbeda, menuntut sang khalifah untuk berpikir cerdas dalam mengidentifikasi lingkungan dimana ia menghentikan langkah. Termasuk menebar kebaikan dan memberantas keburukan apa yang mesti ia laksanakan. Tak ketinggalan pula bagaimana strateginya dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Dalam mengemban amanah yang ditugaskan kepadanya, terkadang ia merasa gelisah dengan hasil yang diperolehnya. Tak satupun manusia di hadapannya mendengar apa yang disampaikannya. Untuk itulah sang khalifah terus berbenah diri. 

Khalifah juga manusia. Tak ada yang menyangka ia bisa merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Setiap kali ia rasakan  langkahnya salah, ia pun berhenti sebentar. Menengok ke kanan dan ke kiri sebelum ia memulai lagi langkahnya. Pemberhentian itu terkadang tak hanya sebentar. Ia harus juga bertarung dengan dirinya sendiri tatkala otaknya mulai menghasilkan suatu zat yang disebut dengan dopamin. Zat semacam ini dihasilkan kelenjar otaknya tatkala sang khalifah tak lagi memandang segala sesuatu secara positif. Bahkan pada tingkat terparah, ia mengatai dirinya sendiri sebagai seorang ‘fatalistik pesimistik’. Ketika si fatalistik pesimistik ini terus terlarut dalam kegelisahannya, ia tak sadar bahwa semakin banyak zat dopamin yang terakumulasi di dalam otaknya. Ia pun tak menyadari bahwa semakin jauh ia memandang segala sesuatu secara negatif, semakin meningkat kegalauannya, semakin stress pikirannya, maka akan semakin terganggu emosi, ingatan, dan aktivitas motoriknya. Bahkan dalam jangka yang sangat lama, ia akan semakin dekat pada apa yang sering dikatakan orang sebagai penyakit dementia atau alzheimer.
 
Lalu bagaimana si fatalistik pesimistik harus kembali bangkit menjadi seorang khalifah yang siap mengemban tugasnya kembali? Untuk mampu bangkit, sang khalifah haruslah terlebih dahulu menghapus segala zat-zat buruk yang telah terakumulasi di dalam otaknya. Dopamin hanya dapat dihilangkan tatkala ia telah dikuasai oleh zat rivalnya yang bernama endorfin. Zat macam ini secara alamiah akan dihasilkan kelenjar otak tatkala ia memandang kehidupannya dengan positif. Endorfin akan membuat dendrit-dendrit saraf otak sang khalifah menjadi saling terhubung. Dan ini akan menghindarkannya dari penyakit pikun termasuk saat ia memasuki masa tuanya nanti. 

Itulah zat ciptaaan Allah yang dianugerahkan dalam otak setiap khalifah yang diutusNya. Sang khalifah harus selalu bangkit untuk berpikir secara positif agar ia produktif dalam menghasilkan endorfin. Barangkali dengan tersadarnya ia bahwa God’s Pharmachopoeia ada dalam dirinya, ia tak lagi memandang segala sesuatu secara buruk. Sang khalifah perlu berpikir bahwa segala permasalahan yang timbul dalam tugas kekhalifahannya hanyalah disebabkan karena ia salah dalam memandang hal yang sebenarnya bukan masalah itu. Untuk itu, tidak seharusnya sang khalifah berhenti terlalu lama dan terbengong-bengong oleh tantangan yang ada di depannya. Karena waktu yang ia punya tidaklah banyak, sementara ia harus segera pulang di waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan yang mengutusnya.