Teringat kisah
seorang anak yang begitu pemalu, sampai-sampai berkunjung ke rumah kerabatnya
pun “ngintil” di belakang ibunya. Si
Anak yang clingus ini dengan
malu-malu menatap mata orang-orang di rumah kerabatnya itu berharap tak akan ditanya
dengan pertanyaan yang membuatnya malu untuk berkata-kata. Meski berharap tidak
ditanya, toh tetap saja orang yang melihat tingkah malu si Anak ini pasti
sesekali menanyai si Anak meski hanya seputar pertanyaan “kelas berapa dhek sekarang?”. Anak yang tak pernah dilatih untuk
merespons pertanyaan dari orang lain ini pun dengan malu-malu, bahkan sesekali
bersuara pelan sekali akhirnya menjawab pertanyaan yang sangat mudah untuk
dijawab itu.
Kini, setelah si
Anak mulai menginjak usia remaja, bahkan dewasa, ia merasakan kesukaran yang
luar biasa untuk lepas dari bayang-bayang sang ibu. Ia tak mengerti, sekarang
zaman sudah berubah, ia mulai masuk dalam sebuah lingkungan yang
mengharuskannya bergaul dengan orang lain. Kini ia telah punya peran sosial dan
tanggung jawab moral di tengah lingkungannya, lantas apakah ia masih merasakan
ada ketidakpercayaan diri tersisa dalam dirinya? Ternyata memang begitu.
Berbicara mengenai
kepercayaan diri, sering dikatakan bahwa jika sedari dini anak dilatih untuk
tampil di muka umum, terbiasa bercakap-cakap dengan orang lain, bahkan berani
menunjukkan kelebihannya di depan khalayak umum, maka kelak saat si Anak dewasa
akan tumbuh menjadi seorang yang penuh dengan kepercayaan diri mengembangkan
potensinya. Itu dari sudut pandang orang tua yang memperhatikan betul
pendidikan kepercayaan diri untuk buah hatinya. Pertanyaannya sekarang,
bagaimana jika orang tua tidak menyadari bahwa mereka harus membiasakan buah
hati tercintanya agar memiliki rasa percaya diri sejak dini?
Lagi-lagi setelah
si Anak dewasa dan masih tersisa kelemahan dalam darinya, dalam hal ini masih
ada ketidakpercayaan diri dalam dirinya untuk bergaul dan mengembangkan potensinya
dalam dunia sosial, pasti indikasi yang disimpulkan pertama kali adalah “Oh, dulu tidak dibiasakan tampil di depan
umum sama orang tuanya”. Seakan-akan orang tua selalu ada di balik
kelemahan setiap anak, hingga di anak sudah berumur dewasa sekalipun.
Bahkan yang lebih
parah, ketika orang-orang di sekitar si Anak memberikan label pada si Anak “Eh kamu thu clingus ya seperti ibumu”
maka serta merta kekuatan si Anak yang mulai dewasa ini runtuh begitu saja untuk
bangkit dari kelemahannya karena kelemahannya disamakan dengan kelemahan
ibunya. Akhirnya labelling yang
ditimpakan oleh lingkungan kepada si Anak membentuk stigma tersendiri dalam
pikiran si anak bahwa “Aku sama seperti
ibuku yang pemalu, clingus, tidak percaya diri, tidak luwes dalam bergaul”.