Minggu, 16 Desember 2012

FE Menuju Green Campus


Istilah go green telah lama akrab di telinga masyarakat. Istilah ini seringkali diidentikkan dengan tema besar yang sedang diusung para pemerhati lingkungan hidup akan semakin parahnya kondisi lingkungan akibat pembangunan yang semakin masif. Istilah green economy juga mulai hangat diperbincangkan para ekonom dan usahawan sejak maraknya pembangunan besar-besaran yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial. Sama halnya ketika mendengar istilah green campus. Pihak civitas akademika memasifkan gerakan go green di kampusnya masing-masing. Upaya yang dilakukan bisa beraneka ragam. Mulai dari melakukan aksi penanaman sejuta pohon di sekitar kampus,  atau tidak jarang menerapkan kebijakan penyediaaan moda transportasi massal bagi segenap civitas akademika yang diharapkan dapat mengurangi tingkat emisi yang menyebabkan polusi di sekitar kampus.

Di Fakultas Ekonomi UMS khususnya, sudah mulai terlihat geliat menggelorakan semangat go green. Hal ini terlihat dengan dipajangnya sebuah spanduk raksasa  di hall baru FE. Isinya bukan ajakan untuk menanam sejuta pohon atau anjuran untuk mengurangi intensitas menggunakan kendaraan pribadi di kampus, melainkan ajakan untuk membenahi lingkungan kampus FE agar memiliki green culture. Pertama, soal budaya thaharah. Menjaga kebersihan di area FE hukumnya fardhu ‘ain dan merokok akan menjadi kebiasaan terlarang disini. Kedua, budaya shalat berjamaah. Ketiga seruan untuk mengenakan busana yang sopan dan ‘sedikit’ syar’i bagi segenap civitas akademika terpampang jelas di spanduk ini. Bagi para mahasiswi dan dosen perempuan tentunya, bersiaplah masuk area FE UMS dengan balutan jilbab dan busana yang tidak ketat. Lalu untuk mahasiswa yang terkadang masih berkeliaran di kampus FE pada saat jam efektif dengan mengenakan sandal jepit dan celana pendek, maka bersiaplah dikatakan ‘buta huruf’ karena pasti ia belum membaca spanduk raksasa yang telah terpajang beberapa minggu ini. Dan keempat, soal budaya akademik. Civitas akademika FE sangat dianjurkan untuk memiliki kejujuran akademik dan senantiasa berpikir dengan prinsip ajaran Qur’an dan Sunnah, hati nurani, serta logika yang sehat.

Apa yang tertera di spanduk raksasa nampaknya baru sekedar ‘angan-angan’ tentang profil civitas akademika FE UMS di waktu sekarang dan yang akan datang, jadi belum ada penegasan di dalamnya. Membangun sebuah budaya tidaklah bisa selesai dalam satu atau dua bulan. Semoga di waktu dekat ini akan ada spanduk yang tak kalah besarnya yang berisi penegasan bahwa himbauan pada spanduk yang dipajang pertama resmi menjadi peraturan yang wajib ditaati oleh segenap civitas akademika terutama di lingkungan Fakultas Ekonomi UMS. Setiap peraturan nampaknya harus memiliki konsekuensi atau hukuman bagi pelanggarnya. Karena jika hanya menunggu kesadaran individual saja berarti menunggu tidak tercapainya visi yang ditulis besar-besar dalam spanduk tersebut. Semoga setelah ada peraturan tegas, kampus FE bukan lagi menjadi ‘kampusnya para foto model dan perokok’, tetapi benar-benar menjadi kampus para calon green economist, green manager, green businessman, green accountant, bahkan green president
Dipublish di koran pabelan Kamis, 13 Desember 2012

Minggu, 18 November 2012

Kontribusi Cendikiawan Muslim Dalam Perkembangan Ilmu Ekonomi



Umat Islam telah lama mengimpor ilmu-ilmu sosial dari barat, tidak terkecuali ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi telah diajarkan sebagai sebuah obyek yang vital di seluruh sekolah formal dan perguruan tinggi. Apa yang diajarkan tersebut tidaklah berbeda dengan apa yang diajarkan sekolah-sekolah di barat. Jarang sekali ada upaya menganalisis manfaat yang diperoleh barat sendiri maupun manfaat jangka panjang bagi dunia Islam. Alih-alih menganalisis manfaat jangka panjang, umat Islam terlalu sering mengadopsi secara penuh apa yang dilihatnya dari barat.
Dunia Islam telah lama mengadopsi semua yang berbau barat mulai dari aspek politik, ekonomi, bahkan intelektualisme yang terkesan tunduk pada barat. Wacana keilmuan, dalam hal ini ilmu ekonomi yang diadopsi dari barat dipertahankan tanpa ada sterilisasi dari aspek materialis dan sekuler. Hal ini pernah diduga oleh Ibnu Khaldun dalam karya monumentalnya Muqaddimah, bahwa bangsa yang terjajah selalu meniru mode penjajah, baik dalam gaya busana, kendaraan, senjata dan penggunaannya, serta jenis dan bentuknya, bahkan dalam semua aktivitas, kebiasaan dan perilakunya. [1]
Di sekolah maupun perguruan tinggi di negara muslim, ilmu ekonomi seringkali diajarkan tanpa ada kritikan berdasarkan paradigma agama Islam dan lebih parah lagi tanpa menyebutkan kontribusi yang telah disumbangkan para cendikiawan muslim sekaliber Ibnu Khaldun. Para mahasiswa seringkali mendengar Adam Smith (1723-1790) sebagai bapak ilmu ekonomi, Ricardo (1772-1823), Malthus (1766-1830), Marshall (1842-1924), dan Keynes (1881-1946), tetapi sekali lagi amat jarang mendengar kontribusi yang disumbangkan oleh cendikiawan muslim karena seperti sudah diperkirakan, buku-buku ekonomi teks barat tidak pernah menyebutkan tokoh-tokoh ini. Memang kesalahan ini terletak sebagian pada pundak kaum muslimin karena tidak menekankan secara memadai kontribusi-kontribusi kaum muslimin, juga terletak di pundak barat karena tidak memberikan pengakuan kepada peradaban lain atas sumbangan yang diberikan kepada perkembangan ilmu pengetahuan.[2]
Salah satu penulis sejarah pemikiran ekonomi Joseph Scumpeter misalnya, setelah membahas kontribusi bangsa Yunani-Romawi dalam tesisnya History of Economic Analysis, benar-benar mengabaikan periode muslim dan ia melompat melewati “gap besar” dari “lebih dari 500 tahun” menuju epos St. Thomas Aquinas (1225-1274)[3]. Scumpeter menyimpulkan terjadinya great gap antara periode bangsa Yunani dan zaman skolastik. Kesenjangan yang diperkirakan terjadi selama lebih dari 500 tahun tersebut dianggap sebagai sebuah masa yang steril dan tidak produktif. Tesis ini menyebabkan tercerabutnya teori ekonomi modern dari moral dan etis yang telah dibangun oleh ilmuan muslim di abad XIII.
Scumpeter nampaknya tidak menengok ke timur saat menulis tesisnya. Kesenjangan besar selama lebih dari 500 tahun yang dianggap sebagai dark age pada bangsa barat justru merupakan masa keemasan di dunia Islam. Abad pertengahan adalah masa keemasan bagi dunia Islam. Pada abad ini, ilmu ekonomi telah dibangun secara teoritis oleh ilmuan muslim meskipun tidak dalam satu bidang khusus ataupun dalam satu karya yang utuh membahas ekonomi. Pecahan-pecahan teori ekonomi dengan mudah ditemukan hampir di setiap karya ilmuan muslim ketika itu. Bahkan saat melihat karya Saint Thomas Aquinas summa theologica misalnya, mengingatkan secara utuh akan karya Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Nama-nama lain seperti Ibnu Sina (Avicenna, w.428/1037) atau Ibnu Rusyd (Avirroes, w.595/1198) juga muncul pada hampir di setiap halaman buku-buku yang ditulis para filosof skolastik.[4] Hal ini membuktikan bahwa kontribusi bangsa Yunani terhadap ilmu pengetahuan dapat dinikmati barat berkat kontribusi yang kaya dari ilmuan muslim. 
Andai Scumpeter menyadari bahwa sejarah ilmu pengetahuan berlangsung secara kontinyu, karya yang telah disusunnya tentunya tak akan menyebabkan blind spot dalam sejarah pemikiran ekonomi. Jika perkembangan ilmu pengetahuan disadari sebagai sebuah bentuk proses evolusioner yang berkelanjutan, maka ia tak akan menarik kesimpulan adanya kesenjangan yang besar selama lebih dari 500 tahun. Karena justru ia akan menemukan fondasi dimana sarjana barat dan filosof skolastik membangun menara intelektual mereka.
Wallohu a’lam bishowab.

Referensi
Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi. Jakarta : Gema Insani
Khaldun, Ibnu. 2001. Muqaddimah. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Schumpeter, J.Aloys. 1954. History of Economic Analysis. New York : Oxford University Press.

Dipublish di majalah Balans edisi Agustus 2012.




[1] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2001), Cetakan Ketiga, hlm. 237.

[2] Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani, 2001). Cetakan Pertama. hlm. 218

[3] J.Aloys Schumpeter, History of Economic Analysis, (New York : Oxford University Press, 1954). hlm. 73-74

[4] Chapra, Op.Cit., 219.

Minggu, 11 November 2012

Karena Kuliah Aja Gak Cukup !


Rutinitas kuliah menjadi santapan harian mahasiswa. Yang masih semester awal mungkin masih bekerja keras untuk mengatasi shock culture karena budaya yang ia temui di SMA ternyata jauh berbeda dengan budaya di kampus. Jika biasanya di SMA siswa belajar dengan durasi lebih dari delapan jam, bahkan lebih ketika harus digodok menjelang UN, kini mereka harus bersiap belajar secara formal di dalam kelas hanya dalam empat jam saja bahkan dua jam!. Banyak mahasiswa yang menghabiskan sisa harinya dengan banyak hal. Bisa jalan-jalan, konkow-konkow, kerja, atau tidur di kos.

Disadari atau tidak, masa awal kuliah menjadi masa keemasan yang kadang mengkhawatirkan. Dari sinilah perjalanan panjang perkuliahan selama hampir empat tahun akan dimulai. Masa permulaan kuliah adalah waktu yang sangat tepat untuk memilih apakah akan menjadi pribadi yang disibukkan dengan hal positif yakni dengan mengikuti kegiatan berorganisasi yang bermanfaat di kampus, atau justru menjadi pribadi apatis yang banyak menghabiskan waktu yang tersisa dengan sia-sia.

Lalu, adakah mahasiswa semester atas yang merasakan kegalauan karena tak memanfaatkan fase keemasan di awal perkuliahannya? Jawabannya pasti ada. Banyak dari mereka yang menyesal mengapa dulu tidak pernah ikut beberapa kegiatan akademis yang ditawarkan organisasi kampus yang menunjang akademis dan peningkatan kompetensi individu. Ada begitu banyak opportunity yang ditawarkan organisasi intra maupun ekstra kampus yang ternyata sangat bermanfaat untuk menempa kompetensi diri. Akhirnya, yang menyedihkan adalah ketika lulus para mahasiswa yang tak rajin memanfaatkan opportunity ini menjadi pribadi yang tanggung. Mereka memiliki gelar, namun kosong dalam kompetensi.

Ada pula mahasiswa yang begitu idealis terlalu asyik mensibukkan diri dalam aktivitas organisasi. Hal ini terkadang membuatnya tidak semangat masuk kuliah bahkan terkadang mereka meninggalkan amanah orang tua untuk lulus tepat waktu. Mahasiswa penuh hasrat berorganisasi ini menghabiskan waktu luangnya untuk berbagai acara yang diseleggarakan organisasi yang ia ikuti. Rutinitas organisasinya tak jarang membuatnya lupa bahwa ada hal yang seharusnya menjadi prioritas. Ini dapat kita lihat dari wajah mahasiswa abadi yang cukup banyak di kampus.

Menjadi mahasiswa, berarti harus siap menempa diri untuk memanage waktu sebaik-baiknya. Begitu pula harus siap melihat kompetensi diri dan pandai mencium aroma opportunity yang ditawarkan berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Karena itulah sebelum menyesal, mulai sekarang hendaknya mahasiswa memilih berbagai kegiatan dan organisasi yang benar-benar menunjang karir dan akademiknya. Kegiatan organisasi menjadi laboratorium atas ilmu yang didapat di kelas. Karena disadari atau tidak, banyak hambatan yang dialami mahasiwa di kelas. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan fisik maupun non-fisik. Fasilitas belajar yang tidak memadai, metode belajar yang konvensional dan terkesan hanya sebatas rutinitas, referensi pelajaran yang terbatas, hingga dosen yang tidak kompeten adalah penghalang bagi mahasiswa dalam mengatasi kehausan akan ilmu pengetahuan. Jadi percayalah, kuliah aja gak cukup!

Dipublish di Koran Pabelan Desember 2012.

Jumat, 27 Juli 2012

Perahu Itu Bernama FoSEI


Bismillahirrahmaanirrahim…

Malam ini, tiga minggu sudah dari waktu ditetapkannya FoSEI FE UMS sebagai KSEI terbaik Se-Indonesia, saya baru bisa memberikan respon saya sekarang. Sebuah tamparan maha-dahsyat atas ditetapkannya KSEI ini sebagai KSEI terbaik. Keheranan muncul, bahkan ada yang tertawa terbahak-bahak atas kabar yang diterima tanggal 7 juli malam hari itu. Seakan pertanda bahwa semua bertanya, kok bisa ya? Ah salah nyeleksi tuh, ah kebetulan aja tu, dan yang lebih parah lagi kayaknya gak mungkin deh padahal sudah jelas-jelas vandel the best KSEI siap dibawa pulang.

Kenapa saya mengatakan penobatan itu sebagai tamparan maha-dahsyat? 

Apresiasi patut kita berikan kepada teman-teman presnas dan depnas atas dinobatkannya KSEI ini sebagai the best KSEI. Namun sejujurnya, jikalau memang penilaian itu obyektif, toh itu bukanlah tujuan yang ingin diraih KSEI ini. Karena tentu saja tak satupun visi KSEI ini menyebut kata become the best…

Buat apa disebut tamparan maha-dahsyat jika tak bisa dijadikan bahan muhasabah. Di lain sisi, penilaian manusia terkadang tak sesuai kenyataan.  Jika memang demikian, maka KSEI ini pantas bersyukur karena Alloh masih berkenan untuk menutupi banyak kecacatan yang ada pada dirinya.

Benar perkataan salah seorang three musketeers yang ia tulis sebagai closing statement update berita di blog Fosei. “Semoga ini sebagai Muhasabah buat FoSEI untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Menyandang sebagai KSEI terbaik bukanlah sebuah kegembiraan semata. FoSEI harus bisa Istiqomah untuk mendakwahkan dan mengkaji EKonomi Islam”. Closing yang cukup bijak nampaknya, namun saya malah bertanya, apakah kita bahagia dengan hasil itu? Atau biasa saja? Atau malah tak acuh dengan semua ini?

Perjalanan selama 6 bulan kepengurusan menjalankan bahtera FoSEI bukanlah hal yang mudah seperti mudahnya memoleskan bedak dan gincu di pipi dan di bibir. Visi dan misi yang telah tertulis tak hanya mudah untuk ditulis, tapi juga mudah untuk dilalaikan dan bahkan tak pernah diresapi. Ada begitu banyak pertanyaan yang sering muncul dalam benak pikiran masing-masing, kita ini siapa? mau ngapain? Dan mau kemana? Meski visi dan misi sudah terlalu sering dikemukakan di forum, pertanyaan itu hampir sering menghantui perasaan individu yang bahkan terkadang membuat ragu untuk melangkah.

Organisasi layaknya perahu yang berlayar di samudera kehidupan. Jika saya boleh menyebut organisasi ini adalah perahu dakwah, maka sayalah orang pertama yang paling bangga dan bahagia berada sekaligus menjadi motor penggerak perahu ini. Betapa bangganya saya menjadi salah satu agen dakwah meski ilmu baru setinggi betis. Meski sering dianggap sebagai ‘ustadzah dholalah’ saya tak terlalu peduli itu. Kebahagiaan tetap bergema sebagai bagian dari agen dakwah. Pendakwah yang selalu merindukan cahaya Alloh hadir dalam dirinya dan perahunya. Pengemban dakwah yang memilih jalan terang disisiNya, bermandikan cahayaNya meski penuh onak dan duri. Bukan jalan gelap yang begitu fana padahal hanya sekejap mata. Eksistensi perahu ini jika demikian begitu agung di sisi Alloh, karena pengemban dakwah adalah penyambung nafas dunia, menghindarkan perahu dan lingkungan sekitarnya dari kerusakan dan sehabisnya. Perahu ini adalah perahu dakwah, maka jelaslah sudah arahnya, perahu ini akan terus berlayar di samudera kehidupan untuk berdakwah ke arah ridha Allah Ta’ala.

Namun, jika status sebagai perahu dakwah masih berat adanya, nampaknya perlulah ada muhasabah sejenak terutama bagi si nahkoda. Embel-embel “Islam” di belakang nama perahu ini barangkali baru sekedar nama. Apalah artinya ada kata “Islam” yang begitu suci, apalah artinya dinobatkan sebagai yang terbaik, jika senyatanya perahu ini tak mampu memberikan rasa aman bagi penumpangnya. Meski nahkodanya mengaku paham akan eksistensi perahu ini, tetap itu belum ada arti jika penumpangnya tak tahu perahu jenis apa yang ditumpanginya, untuk apa perahu itu berlayar, dan akan berlabuh kemanakah perahu ini…

Mungkin bagi penumpang tak begitu penting perahu jenis apa ini sebenarnya. Jika memang demikian adanya, maka memang tidaklah terlalu penting untuk memperjelas mau kemana arahnya. Sementara cukuplah para nahkoda yang mengetahui perahu apa ini, untuk apa berlayar dan kemanakah akan berlabuh. Jika terasa begitu berat mengemban amanah dakwah di lingkungan sekitar, toh tak ada salahnya untuk terlebih dahulu berdakwah di perahu kita sendiri.

Bulan suci Ramadhan semoga menjadi awal penyucian para penumpang berikut nahkodanya menjadi mukmin sejati. Biarpun masih terlalu sulit bagi nahkoda untuk menjelaskan pada penumpang bahwa perahu ini adalah perahu dakwah yang punya visi dan misi agung, maka biarlah para nahkoda tetap terus menyampaikan apa yang lebih esensi untuk disampaikan. Kebahagiaan sejati para nahkoda adalah tatkala mereka mampu mengenalkan para penumpang dengan Pencipta samudera tempat mereka berlabuh. Menyampaikan pada mereka tentang Sang Pencipta, Illah yang berhak disembah, Sang Rabbul Izzati. Harapannya, jika memang penumpang belum merasakan nikmatnya mengemban amanah menghuni perahu dakwah,  biarlah mereka tetap bisa mengais cahayaNya, hingga semua akan berkata aku ingin kenal Dia, aku ingin belajar mendekat kepadaNya, aku ingin perbaiki diriku karenaNya, maka karena itulah aku masuk perahu ini.…Tiada kebahagiaan sejati selain bisa mengenalkan para penumpang kepada Allah Azza wa Jalla. Karena ia menyayangi semua yang berbuat demi RidhoNya. 

Innallaaha ma’ana, mari menempa diri di perahu ini semata-mata demi RidhoNya.