”Sesungguhnya
kami Telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzab 72)”
Manusia, sebagai salah satu maha karya Rabb semesta alam, ditakdirkan
olehNya menjadi makhluk yang kontroversial. Betapa tidak, di tengah
ketidaksanggupan makhluk lain untuk mengemban amanah menjadi wakil Allah SWT di
bumi, manusia dengan gagah berani mendeklarasikan diri bahwa dirinya sanggup
menjadi delegasi Allah SWT di dunia. Tugas-tugas seperti amar ma’ruf nahi
munkar, jihad fisabilillah, menyelesaikan masalah kemiskinan umat, berlemah
lembut terhadap kaum muslimin hingga bersikap keras pada para penyembah thaghut
otomatis menjadi tanggung jawab setiap insan yang sejak awal telah menyanggupi
untuk menerima tugasnya sebagai khalifatullah
fil ‘ardhi. Ini dari tugas tersebut
tidak lain adalah demi menegakkan kalimat Laa ilaaha illallah di muka bumi ini.
”
Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad 7)
Tidak perlu menyesali mengapa
mesti manusia yang harus bersusah payah memakmurkan kehidupan di bumi. Tak
perlu cemas pula ketika harus mendakwahkan tauhid di tengah kaum penyembah
thaghut. Semestinya manusia bergembira karena di saat tugas sebagai khalifah di
bumi dijalankan dengan baik dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT dan syarat
manjadi khalifah berupa keimanan dan amal shaleh telah terpenuhi, maka Dia akan
menolong sang khalifah dan meneguhkan kedudukannya berdasar keterangan ayat 7
surat Muhammad di atas. Mengapa sang khalifah diberikan kedudukan yang mulia di
hadapan Allah? Hal ini sangat jelas karena mereka telah menolong Dien Allah.
Sebaliknya, jika manusia mengkhianati tugas suci ini atau bahkan tidak punya kesadaran
bahwa dirinya diciptakan untuk mengurus kehidupan di bumi, maka manusia tidak
pantas marah jika Allah memasukkannya dalam golongan orang-orang zalim yang
amat bodoh.
Dalam menjalankan misi suci
sebagai khalifah, manusia diberikan tiga bekal penting oleh penciptanya. Bekal
ini bernama akal, hati, dan jasad. Untuk yang pertama, yaitu akal. Akal berbeda
dengan otak, karena otak merupakan benda biologis di tempurung kepala bagian
belakang yang berfungsi untuk merekam, menyimpan, dan mengingat informasi yang berhasil
ditangkap indera penglihatan dan pendengaran. Informasi yang tersimpan dalam
otak kemudian dikelola oleh suatu zat yang bernama akal. Bekal khalifah yang
kedua adalah hati. Hasil pengelolaan informasi oleh akal tadi kemudian diproses
dalam hati. Karena itulah AlQur’an sering menyatakan bahwa kerja akal itu di
dalam hati, sehingga tidak ada jeda waktu antara proses pengelolaan informasi
di akal dan di hati. Hati sebagai decision
maker setelah berhasil mengambil keputusan berupa tekad atau kehendak maka
keputusan hati ini selanjutnya turun ke wilayah fisik menjadi sikap dan tindakan.
Tentang jasad atau fisik
sebagai bekal khalifah yang ketiga, maka tugas utamanya adalah melakukan arahan
akal dan keputusan hati / jiwa. Karenanya ia merupakan kendaraan bagi akal dan
jiwa kita untuk mencapai tujuan. Para ulama mengatakan ” Jika engkau memiliki
jiwa yang besar, niscaya ragamu akan lelah mengikuti kehendaknya”. Jadi,
kendaraan ini harus di up-grade
kemampuannya agar sanggup membawa beban dan arahan akal dan jiwa manusia.
Akal, hati, dan jasad semuanya
adalah unsur dalam diri sang khalifah yang tak dapat bekerja sendiri-sendiri.
Karena dari wilayah akal, sang khalifah akan menemukan cara berpikirnya.
Sementara dari wilayah hati ia akan menemukan cara merasa, dan dari wilayah
jasad ia akan menemukan cara berperilaku. Cara berpikir itulah yang kemudian
menjadi visi, cara merasa itulah yang akan menjadi mental, dan cara berperilaku
itulah yang kemudian menjadi karakter.
Ibarat suatu negara, hati
sebagai pengambil keputusan adalah laksana seorang raja yang duduk di
singgasana. Sementara akal yang kuat bak tentara raja. Jasad, yang notabene
pelaksana arahan hati dan akal seperti rakyat jelata yang siap diatur oleh
kedua pihak tersebut.