Jumat, 27 Juli 2012

Dna-ku, Tak Sama Seperti Ibuku (part-2)


Betapa malangnya si Anak ketika stigma yang telah dilabelkan kepadanya adalah stigma yang destruktif yang dilontarkan oleh orang-orang yang tak punya pengetahuan tentangnya. Dengan keyakinan penuh, si Anak selalu menyangkal omongan orang-orang yang numpang lewat di depannya, bahwa ia sama saja dengan ibunya, termasuk juga dengan bapaknya, karena pepatah buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya. Dengan semangat harakiri si Anak mencoba memahami dirinya sendiri, bertanya, berharap bahwa dirinya pasti berbeda, bahkan lebih baik dari sesepuhnya.

Namun, di tengah perjalanan selalu ada-ada saja orang yang beranggapan bahwa kamu itu pemalu tho nduk, clingus, ndak percaya diri, ndak luwes dalam bergaul seperti ibumu... Rongrongan eksternal yang bertubi-tubi membuat si Anak terlarut dalam kefatalistik-pesimisti-kan yang begitu mendalam. Terkadang ia merasa dirinya hanyalah bayangan dari orangtuanya yang sedang berkaca. Karena toh Dna-ku kan sama seperti ibu bapakku..Begitu pikir si Anak. Padahal pikiran destruktif yang tercetus dalam otaknya itu, sesungguhnya hanya pikiran numpang lewat yang sama sekali tak dikehendaki hati nuraninya, karna hatinya berkata bahwa, meski Dnaku sama, tapi tidak mungkin sama plek begitu saja..

Si Anak harus banyak belajar lagi nampaknya. Memahami diri sendiri tak semudah mengenali bayangan dari pantulan cermin. Ia sesekali perlulah berpikir secara lebih ilmiah. Mungkin ini sebuah kejutan baginya? Apa kejutan itu? Asal si Anak tahu saja, Dnanya bisa berubah seiring karena banyak faktor yang membuatnya berubah. Ia tak sadar bahwa ada semacam tombol nyala dan padam yang dapat merecode struktur Dna yang diwariskan ibu bapaknya. Apa yang membuatnya demikian? 

Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi adalah faktornya. Penderita diabetes saja bisa menurunkan kadar gula dalam darahnya setelah makan, kalau ia tertawa. Tertawa yang sederhana, yang membuat hati bahagia. Tertawanya ternyata ampuh untuk mengaktifkan gen-gen yang kelak dapat membuat statusnya berubah bahwa ia bisa sembuh meski sesepuh-sesepuhnya adalah penderita diabetes. Begitu pula, saat teman si Anak menderita obesitas, kata orang karena sesepuhnya juga demikian. Namun siapa sangka si teman tersebut dengan olahraga yang teratur, mengatur pola makan yang baik, dan yang terpenting adalah yakin bahwa ia bisa kurus, maka perlahan secara otomatis hal itu akan merubah pula statusnya seakan-akan bukan lagi anggota keluarga yang menderita obesitas.

Sangat fatal ketika si Anak terus terjerembab dalam kefatalistik-pesimisti-kannya. Ia menghadapi lingkungan yang begitu heterogen, yang menuntutnya untuk selalu beradaptasi. Ia dituntut tak boleh clingus, tak boleh tak percaya diri, dan tak boleh tidak luwes dalam berpikir dan bergaulnya. Oleh siapa? Oleh lingkungannya! Maka sesekali ia tergerak untuk mengubah dirinya, menjawab semua tantangan di depannya, maka yakinlah kelak Dnanya akan berubah.

Ya, memang Dna si Anak adalah blueprint baginya, yang orang sangka akan sama dengan nenek moyangnya. Tapi, bukankah Dna hakekatnya bisa berubah karena 3 hal yaitu Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi? Kalau si Anak serius memikirkan hidupnya dengan satu paradigma yang kuat, bahwa ia punya potensi yang luar biasa, dan dalam empirisnya ia terus mengasah potensinya itu, maka buktikan saja bahwa Dna dalam dirinya bisa berubah, menjadi tak sama seperti ibunya.


1 komentar:

  1. kirain mbk septi yg gk sama DNA nya hehehehhehe
    www.elhaq-pos.blogspot.com

    BalasHapus