Betapa malangnya si Anak ketika
stigma yang telah dilabelkan kepadanya adalah stigma yang destruktif yang
dilontarkan oleh orang-orang yang tak punya pengetahuan tentangnya. Dengan keyakinan
penuh, si Anak selalu menyangkal omongan orang-orang yang numpang lewat di
depannya, bahwa ia sama saja dengan ibunya, termasuk juga dengan bapaknya,
karena pepatah buah jatuh tak kan jauh dari pohonnya. Dengan semangat harakiri
si Anak mencoba memahami dirinya sendiri, bertanya, berharap bahwa dirinya
pasti berbeda, bahkan lebih baik dari sesepuhnya.
Namun, di tengah perjalanan
selalu ada-ada saja orang yang beranggapan bahwa kamu itu pemalu
tho nduk, clingus, ndak
percaya diri, ndak luwes dalam bergaul seperti ibumu...
Rongrongan eksternal yang
bertubi-tubi membuat si Anak terlarut dalam kefatalistik-pesimisti-kan
yang begitu mendalam. Terkadang ia merasa dirinya hanyalah bayangan dari
orangtuanya yang sedang berkaca. Karena toh Dna-ku kan sama seperti ibu
bapakku..Begitu pikir si Anak. Padahal pikiran destruktif yang tercetus
dalam otaknya itu, sesungguhnya hanya pikiran numpang lewat yang sama sekali
tak dikehendaki hati nuraninya, karna hatinya berkata bahwa, meski Dnaku
sama, tapi tidak mungkin sama plek begitu saja..
Si Anak harus banyak belajar lagi nampaknya. Memahami diri sendiri tak
semudah mengenali bayangan dari pantulan cermin. Ia sesekali perlulah berpikir
secara lebih ilmiah. Mungkin ini sebuah kejutan baginya? Apa kejutan itu? Asal si
Anak tahu saja, Dnanya bisa berubah seiring karena banyak faktor yang
membuatnya berubah. Ia tak sadar bahwa ada semacam tombol nyala dan padam yang
dapat merecode struktur Dna yang diwariskan ibu bapaknya. Apa yang membuatnya
demikian?
Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi adalah faktornya. Penderita
diabetes saja bisa menurunkan kadar gula dalam darahnya setelah makan, kalau ia
tertawa. Tertawa yang sederhana, yang membuat hati bahagia. Tertawanya ternyata
ampuh untuk mengaktifkan gen-gen yang kelak dapat membuat statusnya berubah
bahwa ia bisa sembuh meski sesepuh-sesepuhnya adalah penderita diabetes. Begitu
pula, saat teman si Anak menderita obesitas, kata orang karena sesepuhnya juga
demikian. Namun siapa sangka si teman tersebut dengan olahraga yang teratur,
mengatur pola makan yang baik, dan yang terpenting adalah yakin bahwa ia bisa
kurus, maka perlahan secara otomatis hal itu akan merubah pula statusnya
seakan-akan bukan lagi anggota keluarga yang menderita obesitas.
Sangat fatal ketika si Anak terus
terjerembab dalam kefatalistik-pesimisti-kannya. Ia menghadapi lingkungan yang begitu heterogen, yang menuntutnya
untuk selalu beradaptasi. Ia dituntut tak boleh clingus, tak boleh tak
percaya diri, dan tak boleh tidak luwes dalam berpikir dan bergaulnya. Oleh
siapa? Oleh lingkungannya! Maka sesekali ia tergerak untuk mengubah dirinya,
menjawab semua tantangan di depannya, maka yakinlah kelak Dnanya akan berubah.
Ya, memang Dna si Anak adalah blueprint
baginya, yang orang sangka akan sama dengan nenek moyangnya. Tapi, bukankah Dna
hakekatnya bisa berubah karena 3 hal yaitu Sikap mental, cara berpikir, dan manajemen emosi? Kalau si Anak serius
memikirkan hidupnya dengan satu paradigma yang kuat, bahwa ia punya potensi
yang luar biasa, dan dalam empirisnya ia terus mengasah potensinya itu, maka
buktikan saja bahwa Dna dalam dirinya bisa berubah, menjadi tak sama seperti
ibunya.
kirain mbk septi yg gk sama DNA nya hehehehhehe
BalasHapuswww.elhaq-pos.blogspot.com