Kamis, 30 Juni 2011

Seberat Inikah Konsekuensinya?



Hari ini terasa berbeda dari hari kemarin. Berbeda, karena tepat pada hari ini hasil test SNMPTN 2011 diumumkan. Bagi mahasiswa yang sudah kuliah selama empat semester seperti saya, apa istimewanya pengumuman itu?

Salah satu kerabat saya mulai menanyakan perihal test snmptn yang saya ikuti sebulan yang lalu. “Gimana hasil test snmptnnya? diterima dimana?” begitu tanyanya.

Saya hanya terdiam seribu bahasa. Terdiam agak lama di depan wastafel. Akhirnya saya hanya menjawab dengan jawaban singkat, “belum liat pengumuman....”

***********

Sebelum saya berangkat ke kampus, dengan sedikit terburu-buru, saya nyalakan laptop sambil berharap wifinya connect dengan hotspot kantor kelurahan depan rumah. Setelah connect, saya buka website snmptn.ac.id. Memasukkan nomor peserta (2114489864), dan akhirnya . .

“selamat, anda diterima pada pilihan kedua (ilmu ekonomi UGM)”

Segala puji bagi Allah, pengumuman inilah yang saya nantikan selama sebulan terakhir ini. Seperti layaknya siswa SMA yang baru saja lulus, saya sangat berharap dapat diterima di universitas yang direspons masyarakat sebagai universitas terbaik di negeri ini yaitu Universitas Indonesia. Tapi Allah berkehendak lain, karena saya diterima pada pilihan kedua, bukan pertama.

Well ......

Pertanyaan yang mungkin dilontarkan teman-teman ketika membaca tulisan ini adalah “ngapain si Septi ikut tes SNMPTN?? Bukannya udah 2 tahun dia kuliah di UMS ???”....

Sejak tulisan ini dibuat, saya telah menyelesaikan kurang lebih empat semester di kampus saya sekarang. Dua tahun yang lalu, ketika status saya masih duduk di bangku kelas XII, saya mulai memikirkan matang-matang perihal kelanjutan studi saya. Apa yang saya lakukan mungkin terhitung agak terlambat dibandingkan dengan apa yang dilakukan teman-teman. Sebagian besar teman-teman sekelas saya telah merencanakan kelanjutan studinya setelah SMA jauh-jauh hari sejak masih duduk di kelas X.

What Passions Means?

Bagi siswa-siswi kelas XII pada umumnya yang ingin melanjutkan studinya di perguruan tinggi dalam negeri, maka tentu saja Perguruan Tinggi Negeri favoritlah yang dituju. As we know, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) seperti UI, UGM, ITB selalu menempati posisi tiga teratas dalam daftar perguruan tinggi yang paling banyak diminati calon mahasiswa pada tes SNMPTN. Ada beberapa pertimbangan mengapa hampir setiap siswa kelas XII memiliki keinginan agar diterima di salah satu PTN favorit. Bagi seorang siswa kelas XII yang belum benar-benar menemukan passion sejatinya (seperti saya), memilih PTN favorit berarti memilih tempat yang baik untuk melakukan character building, tentunya sambil terus fighting menemukan passion.

Tes masuk PTN yang saya ikuti pertama kali adalah SIMAK UI. Saya mengambil jurusan psikologi pada pilihan pertama. Mengapa psikologi? Karena saya ingin kuliah sambil menjalani proses self recognizing. Mungkin dengan kuliah di psikologi saya akan mendapat banyak materi kuliah seputar pengembangan diri. Begitu pikir saya.

Lalu apa pilihan keduanya? Sejujurnya, saya tidak mengisi borang untuk pilihan kedua. “Passion saya di psikologi, kenapa mesti berharap diterima di jurusan lain?” begitu pikir saya. Hingga kemudian sebulan setelah saya mengikuti tes SIMAK UI, saya menerima hasil tes itu dan kali ini UI benar-benar telah MENOLAK saya !!

Memutuskan Tidak Ikut Tes Masuk PTN

Ada banyak tes masuk PTN. Mulai dari SIMAK UI, UM UGM, UM UNDIP, USM ITB, UMB, hingga SNMPTN. Setelah saya ditolak menjadi mahasiswi Fakultas Psikologi UI melalui jalur SIMAK UI, saya tidak mau terburu-buru merencanakan mengikuti tes lain masuk PTN. Orang tua meminta saya untuk tetap stay di Solo. Jika demikian, berarti saya harus kuliah di Solo. Kemungkinan yang akan terjadi, saya akan kuliah di UNS atau UMS.

Keluarga, para guru, teman-teman, tetangga, dan lainnya, semua mendukung agar saya kuliah di UNS saja. Perguruan Tinggi Negeri selalu menjadi tempat pertama yang dituju para calon mahasiswa. Lagi-lagi saya tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan untuk ikut tes masuk PTN. Sewaktu saya belum mengambil kembali keputusan hendak kuliah dimana, diam-diam akhir-akhir itu semangat saya terus bertambah dalam membaca literatur tentang perekonomian.

Sedikit cerita, artikel yang paling saya suka dan membuat saya cukup tercengang adalah tulisan mengenai perjanjian Bretton Woods tahun 1944 di New Hampshire. Artikel tersebut termuat dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Pak Muhaimin Iqbal. Dalam artikel tersebut, Pak Iqbal bercerita mengenai bagaimana kronologis mem-peg-kan uang fiat dengan emas hingga kemudian pada tahun 1971 terjadilah apa yang disebut dengan Nixon Shock. Sejak saat itu, uang fiat terutama Dollar AS tidak lagi di-peg­-kan dengan emas. Ada pula artikel yang masih up to date tentang perkembangan bank syariah dalam dan luar negeri beserta  perdebatan hangat mengenai tidak syar’inya bank syariah.

Semua tulisan yang saya baca menampilkan berbagai fenomena ekonomi yang membuat saya penasaran untuk memperdalamnya. Semakin banyak saya membaca, semakin penasaran saya dibuatnya dan saya semakin membayangkan betapa dahsyatnya diskusi saya dengan teman-teman sesama mahasiswa ekonomi di kampus saya nanti.

Suatu hari, saya mendapatkan brosur UMS dari salah seorang teman yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari kampus tersebut. Saya teliti brosur tersebut ternyata ada program studi baru di Fakultas Ekonomi UMS yaitu Ekonomi Syari’ah. Pikiran saya yang telah “teracuni” berbagai pengetahuan mengenai ekonomi membawa saya mempertimbangan program studi baru di UMS itu. Beberapa pertimbangan yang saya ajukan kepada orang tua saya bahwa – bismillah saya telah RESMI memilih program studi Ekonomi Syari’ah di UMS dan tidak akan mengikuti tes SNMPTN adalah :
- Saya ingin memperdalam ilmu ekonomi sekaligus ilmu dien, dan ini sesuai dengan jargon UMS yaitu Wacana Keilmuan dan Keislaman (Kemakan iklannya UMS nih...)
- Biaya kuliah di UMS memang sedikit lebih mahal, namun tidak begitu mahal kalau dibandingkan dengan biaya kuliah di luar kota.
- Alasan yang paling membuat saya bersemangat adalah saya ingin paham perbedaan sistem ekonomi islam dengan kapitalis.

Itulah beberapa alasan yang saya ajukan kepada orang tua. Sebelumnya, saya telah terlebih dahulu mempersiapkan diri menghadapi semua konsekuensi yang harus saya jalani karena telah memilih secara langsung universitas swasta tanpa mengikuti terlebih dahulu tes masuk PTN. Awalnya orang tua agak sedikit berat merestui saya untuk kuliah di PTS. Anggapan orang tua saya hampir sama dengan anggapan kebanyakan orang bahwa PTN memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari PTS. Bapak dan Ibu berharap saya kuliah di UNS saja, namun pada akhirnya mereka menyerahkan keputusan sepenuhnya di tangan saya.

Dua tahun di UMS

Terus terang saja, awalnya saya merasa bahagia belajar di universitas ini. Banyak sekali ilmu-ilmu yang belum saya ketahui sebelumnya. Meski fokus saya ekonomi, tetapi saya dan teman-teman sejurusan juga diperkenalkan dengan ilmu-ilmu seperti fiqh, tafsir, filsafat, serta hukum. Bahagia rasanya berada di lautan ilmu yang sepertinya sangat luas. Terkadang, karena banyaknya materi yang membuat saya penasaran dan harus saya pelajari, menjadikan saya sering berkata dalam hati ”biarkan aku belajar dan pahami tentang materi ini dulu Pak Dosen, jangan tambah materi yang lain....”

Berada di lautan ilmu yang bermanfaat, membuat saya begitu bahagia. Tapi kebahagiaan ini tidak saya rasakan dalam pergaulan saya dengan teman-teman sekelas. Saya mengenal diri saya sebagai seorang yang sangat menyukai kompetisi. Suasana belajar di kelas saya semasa SMA sangat kompetitif. Kami bersaing ketat untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Kini, suasana persaingan sehat yang challenging itu sama sekali tidak saya dapati di kelas saya. Entahlah, untuk yang satu itu membuat saya sering merasa kurang bersemangat dalam belajar.

Aneh memang. Saya begitu sadar bahwa pikiran saya sedikit banyak masih dipengaruhi oleh faktor eksternal. Seperti contohnya ketika dua tahun lalu saya mengambil keputusan untuk kuliah di universitas ini lantaran banyak membaca buku tentang ekonomi. Dan sekarang, saya mulai merasakan lemas alias tidak bersemangat dalam belajar karena rata-rata teman sekelas saya memiliki pola belajar yang berbeda dengan saya. Sejujurnya, saya kurang suka menjadi seorang siswa yang rajin belajar hanya ketika menjelang ujian. Tapi selama dua tahun ini, hal itulah yang dilakukan rata-rata teman saya.

Saya seperti kehilangan spirit belajar mandiri. Kondisi lingkungan begitu mempengaruhi semangat belajar saya. Semangat saya tidak lagi menggebu seperti ketika menjelang masuk perguruan tinggi ini. Ketika saya mulai menyaksikan fenomena di program studi saya yang cukup aneh seperti adanya konflik dosen dengan mahasiswa, konflik antardosen, dan konflik antarmahasiswa membuat pikiran saya menjadi begitu buruk. Saya bertanya dalam hati ”lingkungan macam apa ini ?”

Saya terus memohon ampun kepada Allah atas pikiran saya yang terlalu negatif dalam memandang lingkungan tempat saya belajar. Saya terus meyakinkan diri saya bahwa lingkungan di sini tidak sepenuhnya buruk. Masih banyak hal-hal positif yang harus saya cari di kampus ini.

Namun, suatu hari saya benar-benar tidak kuasa menahan kebosanan saya berada di lingkungan kelas saya. Ada suatu hal yang terjadi, yang sebenarnya bukan hal besar, namun cukup membuat saya kembali tidak bersemangat dalam belajar. Pada hari itu, kelas kami mendapatkan tugas Ekonomi Moneter yang terdiri dari 5 pertanyaan esai yang harus dijawab secara lengkap. Dosen mata kuliah Moneter meminta kami pergi ke perpustakaan agar kami dapat menyelesaikan soal tersebut. Teman-teman begitu sibuk mencari jawaban tugas dalam buku-buku Moneter yang tebal-tebal. Sebagian yang lain hanya duduk-duduk sambil mengobrol, berharap mendapatkan contekan dari temannya yang sudah terlebih dahulu menemukan jawaban.

Menurut saya, jawaban soal-soal tersebut cukup mudah. Bukan karena saya sok bisa, tetapi memang soal-soal tersebut pernah dibahas di kelas. Saya dengan cepat menjawab soal-soal tersebut sambil sesekali berdiskusi dengan beberapa teman yang mau saya ajak diskusi. Akhirnya saya berhasil menyelesaikan soal itu. Namun, saya heran, teman yang tadi saya ajak diskusi justru ingin meminjam jawaban saya. Dan hal itu diikuti pula oleh teman-teman yang lain. Waktu itu dalam hati saya berkata “Kenapa teman-temanku males mikir???”

Saya pasrah. Allah sedang menguji kesabaran saya. Allah sedang menguji kesungguhan saya dalam mempertahankan visi saya sejak awal, yaitu mendalami ekonomi dan Islam. Meski saya sadar harus tetap sabar, akhirnya saya memutuskan untuk mengikuti tes SNMPTN tahun ini. Ada sedikit harapan dalam hati untuk pindah di universitas yang lebih kondusif lingkungannya untuk belajar. Hingga akhirnya saya mantap untuk mengikuti tes SNMPTN 2011. Saya mengerti konsekuensi yang mesti saya tanggung jika saya diterima di salah satu PTN apakah itu UI atau UGM. Konsekuensi yang harus saya tanggung adalah kekecewaan kedua orang tua saya jika saya benar-benar “lari” dari kampus saya sekarang ini....

0 komentar:

Posting Komentar