Minggu, 04 Maret 2012

Perjalanan Menemukan Berkah Terselubung


Manusia selalu ingin merasakan kebahagiaan dalam kondisi apapun. Bahkan ketika sedang menghadapi cobaan yang tidak menyenangkan sekalipun, mereka berharap untuk menemukan setitik kebahagiaan. Tawa dan senyuman menghiasi bibir sepanjang waktu, tapi hal itu segera berubah tatkala sesuatu yang tak menyenangkan datang. Sesuatu yang tak menyenangkan itu bak jelangkung, ia datang tak diharapkan. Bagi seorang manusia, sangat sulit untuk mengubah raut muka yang muram menjadi kembali bercahaya. Cobaan itu sangat sulit dihadapi hingga tak ada lagi kekuatan untuk menggerakkan bibir dalam ekspresi sebuah senyuman.

Manusia hidup dalam dimensi yang berbeda. Ia hidup dalam dimensi tempat dan waktu yang beragam. Ia bertahan ketika sesuatu yang tak menyenangkan itu datang. Ia mencoba hidup dalam keyakinannya bahwa ia harus bertahan menjadi seorang khalifah hingga tiba saatnya pulang suatu hari nanti. Memang, sesuatu yang tak menyenangkan itu belum pantas disebut sebagai cobaan. Sesuatu itu lebih pantas disebut sebagai tantangan, karena barangkali baru para Nabi dan para pejuang penegak kebenaran yang telah menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan (baca : cobaan) itu. Hingga mereka pun berkata “Kapankah datang pertolongan Allah?”.

Semakin beragamnya dimensi yang dilalui manusia memberikan konsekuensi linear akan semakin bervariasinya tantangan yang mesti ia hadapi. Ia tak hanya hidup dalam sangkar emas di rumah keluarganya saja yang memberikan kehangatan maksimum dan belas kasih tiada putus. Manusia mesti hidup dalam dimensi yang rumit, hingga ia pun harus selalu berpikir first think first untuk menyiasati segala urusan agar terselesaikan dengan baik. Terselesaikannya urusan  dalam berbagai dimensi yang beragam itu tak berarti membuat senyum di bibirnya kembali mengembang. Karena perasaan dan mentalnya harus kembali diuji dengan berbagai penolakan dari orang yang tak puas dengan kinerjanya.

Sang khalifah telah berusaha dengan keras. Ia harus tetap tersenyum meski tantangan yang ia hadapi belum ia selesaikan dengan sempurna. Di balik tekatnya yang kuat untuk mewujudkan sebuah perbaikan yang konkret itu ia berusaha menggerakkan bibirnya dalam sebuah untaian senyuman di hadapan manusia yang berinteraksi dengannya. Berat rasanya menghadirkan senyuman itu tatkala tantangan belum terselesaikan dengan sempurna. Namun sang khalifah tetap terus yakin dan percaya bahwa Allah yang telah menunjuknya menjadi khalifah tak hanya menuntutnya untuk mewujudkan perbaikan yang benar-benar riil. Allah menyaksikan pula, tersenyum, bahkan menyiapkan berkah terselubung tatkala sang khalifah menunjukkan tingkah polah, cucuran keringat, dan mempercepat jejak langkahnya untuk menyelesaikan setiap tantangan dalam tiap dimensi dimana ia hidup.

Kamis, 01 Maret 2012

Mencari Jati Diri Jilbab

Akhir-akhir ini semakin marak bermunculan tren kerudung modern. Para muslimah beramai-ramai mengenakan kerudung dengan berbagai style dan corak warna yang menarik. Model kerudung yang beraneka ragam dipadukan dengan pakaian modis berwarna cerah seakan makin menarik minat para muslimah yang belum berkerudung untuk cepat-cepat menutupi auratnya. Ada kerudung yang hanya diikat ke leher, hanya menutupi kepala, hingga tak sampai menjulur ke bagian dada.
Tren busana muslimah khususnya kerudung berubah dengan cepat mengikuti perkembangan zaman. Para pengusung kerudung modern, yang boleh dikatakan memiliki banyak ide dalam hal mix and match warna atau model kerudung dan berbusana, berlomba-lomba menampung seluruh imajinasinya pada desain kerudung yang ia kenakan supaya terlihat sedap dipandang mata. Fenomena ini menunjukkan pergeseran orientasi muslimah untuk berkerudung. Nampaknya, orientasi berkerudung di zaman modern ini tidak hanya dalam rangka menutupi aurat, tapi juga merambah pada orientasi penampilan. Bahkan tidak jarang ketertarikan terhadap tren kerudung gaul menjadi orientasi utama seorang muslimah untuk bersegera menutupi auratnya.
Dari segi penampilan luar, model kerudung gaul yang dikombinasikan dengan busana yang sedang ngetrend memang terlihat lebih sedap dipandang mata. Image kumuh dan pakaian tidak match dengan kerudung perlahan tak lagi melekat pada diri seorang wanita yang mengenakan kerudung. Kerudung ada yang hanya diikat ke leher, hingga tak jarang kain kerudung yang seharusnya dapat melindungi organ vital di bagian dada justru hanya dipakai sampai leher atau menjadi penutup kepala saja.
Ada hal positif terkait perkembangan tren kerudung masa kini. Banyak muslimah yang sedari awal tidak paham akan kewajiban mengenakan jilbab, menjadi begitu berapi-api mempelajari bagaimana mengenakan kerudung gaul yang sedang ngetrend itu. Barangkali media kerudung dengan berbagai gaya ini dapat dijadikan sebagai sarana menyampaikan hukum agama yakni kewajiban menutup aurat bagi setiap muslimah. Namun, amat disayangkan ketika motivasi menutup aurat tidak ditindaklanjuti dengan mencari tahu hakekat kain yang menutupi aurat (baca : jilbab) yang sesungguhnya.
Sedikit mengutip ayat Alqur’an QS. Annur 31, perempuan diperintahkan untuk menutupi dadanya dengan kain kerudung. Sangat jelas dalam ayat ini bahwa kerudung bukan hanya berfungsi sebagai pemanis atau penutup kepala saja, melainkan juga harus berfungsi melindungi organ vital di bagian dada. Kalau para pengusung kerudung modern tanggap akan ayat ini, tentunya mereka perlu berimajinasi bagaimana menciptakan model kerudung yang menjulur lebar ke dada, tidak hanya sebatas di leher saja. Muslimah yang hendak berhijrah menutupi auratnya, sebaiknya mencari pemahaman yang sempurna terkait definisi jilbab. Jilbab yang ideal mungkin masih berat dikenakan oleh seorang pemula. Meski demikian, sebuah proses haruslah diupayakan agar berakhir pada kesempurnaan. Sehingga fenomena kerudung gaul yang tak sampai menjulur ke dada semoga hanya menjadi sebuah proses yang masih ada kelanjutannya menuju kesempurnaan berbusana seorang muslimah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Senin, 13 Februari 2012

Dna-ku, Tak Sama Seperti Ibuku

Teringat kisah seorang anak yang begitu pemalu, sampai-sampai berkunjung ke rumah kerabatnya pun “ngintil” di belakang ibunya. Si Anak yang clingus ini dengan malu-malu menatap mata orang-orang di rumah kerabatnya itu berharap tak akan ditanya dengan pertanyaan yang membuatnya malu untuk berkata-kata. Meski berharap tidak ditanya, toh tetap saja orang yang melihat tingkah malu si Anak ini pasti sesekali menanyai si Anak meski hanya seputar pertanyaan “kelas berapa dhek sekarang?”. Anak yang tak pernah dilatih untuk merespons pertanyaan dari orang lain ini pun dengan malu-malu, bahkan sesekali bersuara pelan sekali akhirnya menjawab pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab itu.

Kini, setelah si Anak mulai menginjak usia remaja, bahkan dewasa, ia merasakan kesukaran yang luar biasa untuk lepas dari bayang-bayang sang ibu. Ia tak mengerti, sekarang zaman sudah berubah, ia mulai masuk dalam sebuah lingkungan yang mengharuskannya bergaul dengan orang lain. Kini ia telah punya peran sosial dan tanggung jawab moral di tengah lingkungannya, lantas apakah ia masih merasakan ada ketidakpercayaan diri tersisa dalam dirinya? Ternyata memang begitu.

Berbicara mengenai kepercayaan diri, sering dikatakan bahwa jika sedari dini anak dilatih untuk tampil di muka umum, terbiasa bercakap-cakap dengan orang lain, bahkan berani menunjukkan kelebihannya di depan khalayak umum, maka kelak saat si Anak dewasa akan tumbuh menjadi seorang yang penuh dengan kepercayaan diri mengembangkan potensinya. Itu dari sudut pandang orang tua yang memperhatikan betul pendidikan kepercayaan diri untuk buah hatinya. Pertanyaannya sekarang, bagaimana jika orang tua tidak menyadari bahwa mereka harus membiasakan buah hati tercintanya agar memiliki rasa percaya diri sejak dini?

Lagi-lagi setelah si Anak dewasa dan masih tersisa kelemahan dalam darinya, dalam hal ini masih ada ketidakpercayaan diri dalam dirinya untuk bergaul dan mengembangkan potensinya dalam dunia sosial, pasti indikasi yang disimpulkan pertama kali adalah “Oh, dulu tidak dibiasakan tampil di depan umum sama orang tuanya”. Seakan-akan orang tua selalu ada di balik kelemahan setiap anak, hingga di anak sudah berumur dewasa sekalipun. 

Bahkan yang lebih parah, ketika orang-orang di sekitar si Anak memberikan label pada si Anak “Eh kamu thu clingus ya seperti ibumu” maka serta merta kekuatan si Anak yang mulai dewasa ini runtuh begitu saja untuk bangkit dari kelemahannya karena kelemahannya disamakan dengan kelemahan ibunya. Akhirnya labelling yang ditimpakan oleh lingkungan kepada si Anak membentuk stigma tersendiri dalam pikiran si anak bahwa “Aku sama seperti ibuku yang pemalu, clingus, tidak percaya diri, tidak luwes dalam bergaul”.


Minggu, 12 Februari 2012

Jangan Menggunakan Logika Keegoisan

Manusia sering bertanya, untuk apa sebenarnya Allah menciptakannya. Pertanyaan itu sering muncul terutama ketika ia sedang menghadapi sesuatu yang tak menyenangkan (lagi-lagi saya menyebutnya tantangan). Tak jarang, pertanyaan itu diiringi dengan pikiran-pikiran melankolis seperti untuk apa Allah menciptakan manusia kalau hanya dihadapkan pada tantangan yang bertubi-tubi silih berganti.

Dalam hidup, selalu terjadi sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Selalu ada dua hal yang berkebalikan dalam hidup ini. Terkadang manusia berpikir egois, ia menganggap sesuatu yang tak menyenangkan itu tak baik baginya, begitu pula sebaliknya, bahwa sesuatu yang menyenangkan itu sangat menguntungkan baginya. Pikiran semacam ini berindikasi pada penafian ‘tangan’ Allah. Seakan-akan semua yang terjadi, baik menyenangkan atau tidak, terjadi begitu saja. Hingga secara dzahir manusia berkesimpulan bahwa yang menyenangkan pasti baik dan yang tidak menyenangkan sudah pasti buruk untuk si manusia.

Berbicara tentang hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dalam hidup, hendaklah tak hanya menggunakan logika keegoisan semata. Kalau hanya menggunakan logika yang egois, akibatnya kesimpulan yang ada cenderung menganggap yang menyenangkan pasti baik, begitu pula sebaliknya. Sisi keegoisan manusia selalu mengukur segala sesuatu dimulai dari menyenangkan atau tidak bagi dirinya. Padahal jika si manusia yakin akan ‘tangan’ Allah, maka seharusnya ia berpikir dengan logika bijak bahwa sebagai khalifah, ia pantas diuji dengan bertubi-tubi tantangan yang tak menyenangkan. Sang Khalifah sudah selayaknya menyertakan ‘tangan’ Allah dalam setiap proses berpikirnya karena Ia lah yang menunjuk manusia menjadi wakilNya di bumi.

Minggu, 15 Januari 2012

I Dishlike Writing

Aku telah mengaku pada beberapa orang yang kutemui bahwa membaca adalah suatu kebutuhan bagiku, bukan sekedar hobi. Kuakui bahwa belum lama aku berkawan akrab dengan buku. Baru tujuh tahun semenjak aku duduk di tahun pertama di Sekolah Menengah Pertama. Ada orang yang percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Tapi banyak juga yang tidak. Mereka yang tidak percaya dengan pengakuanku yang telah berkawan akrab dengan buku adalah mereka yang juga sejak jauh-jauh hari bersahabat dengan buku. Mereka yang tidak percaya bahwa aku seorang yang aktif membaca adalah mereka yang mengatakan bahwa sia-sia saja aku membaca tanpa mengikat apa yang aku baca. Mereka mengatakan, kamu telah diberi “sayap” oleh sebuah buku. Kamu bisa terbang semaumu, dan kamu merasa sudah terbang tak menentu ke segala penjuru. Lalu, apakah kamu puas dengan rutinitasmu itu? Bagi kami, apa yang kamu lakukan—aktivitas membaca tanpa menulis—hanya sebuah pekerjaan yang sia-sia saja. Bagi kami, membaca tanpa menulis hanyalah kesia-siaaan belaka.

Mengapa kalian menganggap apa yang kulakukan sia-sia? Aku telah bermetamorfosa menjadi seorang pembaca yang tak ingin dibatasi status keilmuan. Kalian tau, sejak kecil yang kulakukan hanya membaca teks buku pelajaran tebal-tebal yang membuatku tak tau arah karna hanya giat kulakukan menjelang ujian. Kini, aku merasa telah berubah sangat drastis. Terserah jika kalian menganggp semua prosesku lambat. Yang pasti, aku tak ingin mengenal dikotomi ilmu. Bagiku tak perlu kita mengenal dikotomi ilmu. Dikotomi ilmu harus dibuang jauh-jauh. Karena kita—aku—ingin bebas membaca apa yang kumau. Buku telah memberiku “sayap” untuk terbang. Hingga aku bisa menjadi elang yang terbang bebas ke seluruh penjuru yang tak menentu. “Kamu telah  mendobrak dikotomi ilmu”, begitu kata kawan sang mantan mawapres 2009.

Siapa yang bisa melarangku membaca buku-buku neurosains atau sastra? Meski aku belum tamat melahapnya, tapi semua memberiku semangat untuk hidup. Aku hidup, aku bangkit ketika kalian tak mengerti keanehan yang kulihat di jurusanku, di kelasku. Lingkungan aneh, tak terlihat budaya akademis, membaca dan berdiskusi. Siapa yang berhak mengaturku hingga aku harus belajar seputar ekonomi saja lantaran statusku sebagai mahasiswa ekonomi?

Kukira, aku sudah terbang sangat jauh. Aku sudah terbang melintasi dunia yang sangat luas meski sebenarnya jiwakulah yang lebih luas darinya. Aku tak mengerti sekarang dimanakah dunia ini menempatkanku. Dan aku mulai tak peduli dimana aku ditempatkan. Di ujung, di tengah, terserahlah. Yang penting aku bisa terbang dengan “sayapku” dan dunia hanya cukup menyaksikan bahwa jiwaku sangat luas melebihinya.

Lalu, mengapa kalian menganggapku melakukan kesia-siaan? Kalian tak percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia lantaran aku belum mampu menghasilkan kata-kata lewat jari jemariku yang memukau pikiran kalian?? Aku tak membutuhkan pengakuan kalian, wahai kawan diskusiku....

Hah, aku seperti teringat tulisan di buku Mengikat Makna, tentang cerita Alm. Soedjatmoko. Baginya, menulis makalah adalah sebuah penderitaan besar. Menulis makalah menjadi sebuah tekanan besar. Momen-momen ini menjadi sebuah hal yang “agonizing”. Betapa menderitanya untuk menulis makalah seperti penderitaan ibu yang berjuang melahirkan anaknya.

Aku pun demikian. Kalian nasehati aku dengan kata-kata segunung. Makna tunggal, bahwa apa yang kulakukan adalah sebuah hal yang sia-sia karna aku tak mampu mengikat imajinasiku dalam tulisan yang bisa kalian nikmati. Jujur aku muak jika kalian minta aku untuk menulis. Menulis untuk mengikat makna dari buku yang kubaca. Lagi-lagi kalian tak percaya bahwa aku adalah seorang pembaca yang setia. Kalian ingin aku tunjukkan hitam di atas putih. Aku jenuh, aku frustrasi, aku tidak bahagia dengan menulis. Kenapa kalian terus memaksaku untuk menulis?


Minggu, 02 Oktober 2011

Is This an Adversity Quotient?


tidak ada masalah berat dalam hidup ini. Yang ada hanyalah orang hebat yang selalu menjadikan tantangan ringan bahkan yang berat sekalipun sebagai sahabat karibnya...”



Masih teringat dalam memori saya sebuah kejadian di pagi hari sesaat setelah saya tiba di sekolah. Waktu itu saya masih duduk di kelas XII. Di pagi hari, seperti biasa, dari hari Senin hingga Sabtu, saya naik bus ke sekolah bersama salah seorang teman saya, sebut saja Ola. Kebetulan rumah Ola hanya berjarak beberapa meter dari rumah saya. Semenjak SMP kami sering berangkat bersama karna kebetulan kami bersekolah di tempat yang sama pula.

Pagi itu kami berdua tiba di sekolah pukul 06.45 diantar sopir bus ATMO. Karna kebetulan tidak ada jam ke-0, kami berani untuk berangkat ke sekolah agak siang. Ketika kami tiba di sekolah, tim guru STP2K (biasanya dipanggil guru polisi sekolah karna hobinya merazia) sudah menyambut para siswa di depan pintu gerbang. Para siswa ditegur agar melepas jaket sebelum masuk ke area sekolah, diperingatkan agar bajunya dirapikan, serta diperintahkan untuk melepas sepatu seperti yang saya alami !

Seminggu terakhir, isu yang sedang hangat dibicarakan para siswa adalah kewajiban bagi setiap siswa untuk memakai sepatu warrior atau sepatu yang bertali. Belum ada kepastian langsung dari tim guru polisi misal dalam bentuk sosialisasi yang clear kepada seluruh siswa. Karena hanya kabar burung yang berhembus, maka hingga hari itu, saya—dengan santainya masih memakai sepatu pantofel tanpa heels yang menjadi favorit saya. Bentuknya yang simpel dan nyaman dipakai menjadikan saya hobi memakai sepatu itu. Tidak jauh berbeda dengan Ola. Ia juga masih memakai model sepatu pantofel yang mirip dengan sepatu saya.

Saat berjalan di depan guru STP2K, perasaan saya mulai gak enak. Sambil menundukkan kepala dan pura-pura gak tau kalo di samping saya ada guru STP2K, saya langsung masuk gerbang dengan tenang. Eh, ternyata ada salah seorang guru STP2K yang mengamati sepatu saya dan sepatu Ola yang belum bertali. Guru mata pelajaran sejarah yang akrab dipanggil Mr. Smith itu langsung menyuruh saya dan Ola untuk melepas sepatu pantopel kami.

“Kenapa kalian belum memakai sepatu bertali? Sekarang kan siswa harus memakai sepatu bertali, tegur Mr. Smith dengan wajah killernya. Saya mulai membela diri. “Maaf Pak, saya belum pernah mendengar ada sosialisasi aturan baru mengenai sepatu. Kalaupun sudah ada, saran saya sepertinya perlu disosialisasikan lagi aturan baru itu” begitu bela saya. Akhirnya, karna saya tidak ingin berdebat terlalu lama dengan Mr. Smith, langsung saja dengan sedikit keraguan saya menjalani hukuman akibat tidak patuh pada peraturan baru. Saya lepas sepatu yang saya pakai lalu saya letakkan di kantor guru sesuai perintah Mr. Smith. Karena kelas saya berada di lantai 2, otomatis saya nyeker menaiki tangga menuju ke kelas.

Saya masih bertanya-tanya dalam hati sambil mengingat-ingat apakah pernah ada sosialiasi peraturan baru tentang model sepatu. Seingat saya belum pernah ada sosialisasi yang tegas tentang sepatu. Karena itulah saya masih begitu percaya diri mengenakan sepatu tanpa tali pada hari itu. Di saat saya merenung dalam perjalanan dari kantor guru menuju ke kelas, saya sangat tidak menyangka kalau teman saya si Ola mulai menangis hingga air mata keluar dari kelopak matanya yang sipit itu. Melihat raut muka Ola yang begitu shock mungkin karena diminta untuk melepas sepatu, saya memutuskan untuk menghentikan langkah sejenak sambil merapat ke tembok di sisi tangga.

“Lhoh, kenapa nangis??? Shock ya dengan hukuman lepas sepatu?” tanyaku pada Ola. Dengan terbata-bata sambil menahan air matanya Ola menjawab “Aku malu Sep gak pake sepatu ke kelas. Pasti nanti diledekin temen-temen” begitu jawabnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung menghibur si Ola yang masih begitu shock karna harus berjalan hanya beralaskan kaos kaki. “Halah, nyantai aja, yang pakai sepatu merek nyeker men pasti banyak kok. Kamu gak liat tadi banyak sepatu yang diparkir di kantor guru” hibur saya. Akhirnya setelah Ola sedikit lebih tenang, saya nuntun dia menaiki tangga menuju kelas. Kebetulan kelas saya berada tepat di sebelah timur tangga, sementara kelas Ola berada di timur nan jauh dari tangga. Karna saya gak tega melihat Ola jalan sendirian dengan malu-malu kucing, akhirnya saya antar dia hingga ke kelasnya. 

Saya agak tenang karna teman-teman gak sempat meledek Ola. Setelah Ola duduk di kursinya, saya pun menuju kelas saya. Dalam perjalanan menuju kelas, saya mengamati masih banyak teman-teman terutama perempuan yang belum mematuhi aturan baru tentang sepatu bertali. Masih banyak yang memakai model sepatu remaja gaul dan nampaknya lebih cocok dipakai untuk nongkrong di mall. Bahkan ada juga yang memakai sepatu model elegan yang begitu cocok dipakai dalam acara resepsi pernikahan!

Dalam hati, saya berkata “Keadilan harus ditegakkan nih”. Banyak yang gak taat peraturan baru,  tapi hanya sedikit yang menanggung hukuman lepas sepatu...

Tanpa pikir panjang, setelah saya menaruh tas di kelas, saya putuskan untuk kembali menemui Mr. Smith di kantor guru untuk melaporkan fenomena di lantai 2 yang berhasil saya amati. Di kantor, saya melihat Mr. Smith sedang tidak melakukan aktivitas urgen. Jadi saya pikir ada kesempatan untuk mengajukan keberatan saya.

“Permisi Pak, maaf mengganggu waktu Bapak” sapa saya. “Ada apa lagi Sep?”tanyanya. “Bapak, saya sarankan naik ke lantai 2. Saya melihat masih banyak teman-teman yang belum taat pada peraturan baru. Banyak yang masih memakai sepatu tanpa tali, Pak. Tentunya mereka juga harus diperintahkan untuk melepas sepatu kan. Bukankah aturan dan keadilan mesti ditegakkan?” tanya saya.  

Setelah mengajukan keberatan, saya langsung kembali ke kelas untuk mengikuti mata pelajaran pada jam pertama. Jam pertama, kami moving ke lab komputer. Sewaktu kami sedang mengikuti pelajaran komputer di lab, tiba-tiba guru guru STP2K lengkap satu kompi datang ke lab. Wah, sepertinya razia dadakan nih. Dan ternyata benar, para guru STP2K datang dengan misi merazia. Mereka merazia satu per satu siswa yang sepatunya tidak bertali. Walhasil, banyak temen-temen saya yang akhirnya bernasib sama seperti saya yakni harus memarkir sepatunya di kantor.

Setelah mata pelajaran komputer di kelas selesai, saya dan teman-teman kembali ke kelas. Semakin banyak yang memakai sepatu merek nyeker men. Teman-teman menanggapi razia dadakan di pagi hari itu dengan kesal. Ada yang mengatakan “Kok bisa ya, ada razia dadakan gini. Biasanya kalo ada rencana razia, langsung pada tau...”

Saya cuma ketawa aja dalam hati sambil membatin “Hore, akhirnya keadilan ditegakkan juga. Mr. Smith tergerak hatinya untuk menegakkan aturan. Kalau teman-teman tau sayalah yang memberikan informasi pada Mr. Smith, bisa-bisa saya dianggap tukang ngadu, hehehe....

Itulah sepenggal kenangan saya di bangku SMA. Setelah kejadian itu, saya masih bertanya-tanya kenapa ya Si Ola yang terkenal sangat jenius dalam mata pelajaran sains begitu cengeng menghadapi tantangan sepele sewaktu diminta melepas sepatu.

Saya evaluasi diri saya. Saya merasa begitu santai menghadapi situasi yang demikian. Ola, si calon dokter begitu shock dengan gertakan guru STP2K. Apa mungkin dia kurang terlatih ya menghadapi unpredicted condition???

Saya mulai merenung. Inikah yang disebut Adversity Quotient ?? Baru dua minggu yang lalu saya mengenal istilah itu dari syekh google. Adversity Quotient merupakan kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam merespon setiap tantangan dan perubahan secara profesional. Saya memang kurang paham teori tentang Adversity Quotient dan seperti apa aplikasinya. Yang saya ketahui, orang yang memiliki kecerdasan seperti ini selalu berusaha merangkul tantangan yang ada di depannya. Ia tidak menjadi pesimis, takut, bahkan menderita lantaran hal-hal yang tidak menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Ia sikapi setiap tantangan dan perubahan dengan tangan terbuka dan tentunya sikap yang kreatif. Sehingga ia pun dapat tetap fokus pada visi hidupnya, tanpa menjadi putus asa karena ia telah berhasil merangkul tantangan dan perubahan dalam hidupnya. Saya berharap pengalaman di masa SMA itu menjadi bibit kecerdasan adversiti dalam diri saya. Dan saya berharap dapat terus mengasahnya. Embrace the challenge !





Senin, 04 Juli 2011

Bekal Sang Khalifah

”Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat [tugas-tugas keagamaan] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh” (QS. Al Ahzab 72)”

Manusia, sebagai salah satu maha karya Rabb semesta alam, ditakdirkan olehNya menjadi makhluk yang kontroversial. Betapa tidak, di tengah ketidaksanggupan makhluk lain untuk mengemban amanah menjadi wakil Allah SWT di bumi, manusia dengan gagah berani mendeklarasikan diri bahwa dirinya sanggup menjadi delegasi Allah SWT di dunia. Tugas-tugas seperti amar ma’ruf nahi munkar, jihad fisabilillah, menyelesaikan masalah kemiskinan umat, berlemah lembut terhadap kaum muslimin hingga bersikap keras pada para penyembah thaghut otomatis menjadi tanggung jawab setiap insan yang sejak awal telah menyanggupi untuk menerima tugasnya sebagai khalifatullah  fil ‘ardhi. Ini dari tugas tersebut tidak lain adalah demi menegakkan kalimat Laa ilaaha illallah di muka bumi ini.
 
” Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS. Muhammad 7)

Tidak perlu menyesali mengapa mesti manusia yang harus bersusah payah memakmurkan kehidupan di bumi. Tak perlu cemas pula ketika harus mendakwahkan tauhid di tengah kaum penyembah thaghut. Semestinya manusia bergembira karena di saat tugas sebagai khalifah di bumi dijalankan dengan baik dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT dan syarat manjadi khalifah berupa keimanan dan amal shaleh telah terpenuhi, maka Dia akan menolong sang khalifah dan meneguhkan kedudukannya berdasar keterangan ayat 7 surat Muhammad di atas. Mengapa sang khalifah diberikan kedudukan yang mulia di hadapan Allah? Hal ini sangat jelas karena mereka telah menolong Dien Allah. Sebaliknya, jika manusia mengkhianati tugas suci ini atau bahkan tidak punya kesadaran bahwa dirinya diciptakan untuk mengurus kehidupan di bumi, maka manusia tidak pantas marah jika Allah memasukkannya dalam golongan orang-orang zalim yang amat bodoh.
Dalam menjalankan misi suci sebagai khalifah, manusia diberikan tiga bekal penting oleh penciptanya. Bekal ini bernama akal, hati, dan jasad. Untuk yang pertama, yaitu akal. Akal berbeda dengan otak, karena otak merupakan benda biologis di tempurung kepala bagian belakang yang berfungsi untuk merekam, menyimpan, dan mengingat informasi yang berhasil ditangkap indera penglihatan dan pendengaran. Informasi yang tersimpan dalam otak kemudian dikelola oleh suatu zat yang bernama akal. Bekal khalifah yang kedua adalah hati. Hasil pengelolaan informasi oleh akal tadi kemudian diproses dalam hati. Karena itulah AlQur’an sering menyatakan bahwa kerja akal itu di dalam hati, sehingga tidak ada jeda waktu antara proses pengelolaan informasi di akal dan di hati. Hati sebagai decision maker setelah berhasil mengambil keputusan berupa tekad atau kehendak maka keputusan hati ini selanjutnya turun ke wilayah fisik menjadi sikap dan tindakan.
Tentang jasad atau fisik sebagai bekal khalifah yang ketiga, maka tugas utamanya adalah melakukan arahan akal dan keputusan hati / jiwa. Karenanya ia merupakan kendaraan bagi akal dan jiwa kita untuk mencapai tujuan. Para ulama mengatakan ” Jika engkau memiliki jiwa yang besar, niscaya ragamu akan lelah mengikuti kehendaknya”. Jadi, kendaraan ini harus di up-grade kemampuannya agar sanggup membawa beban dan arahan akal dan jiwa manusia.
Akal, hati, dan jasad semuanya adalah unsur dalam diri sang khalifah yang tak dapat bekerja sendiri-sendiri. Karena dari wilayah akal, sang khalifah akan menemukan cara berpikirnya. Sementara dari wilayah hati ia akan menemukan cara merasa, dan dari wilayah jasad ia akan menemukan cara berperilaku. Cara berpikir itulah yang kemudian menjadi visi, cara merasa itulah yang akan menjadi mental, dan cara berperilaku itulah yang kemudian menjadi karakter.
Ibarat suatu negara, hati sebagai pengambil keputusan adalah laksana seorang raja yang duduk di singgasana. Sementara akal yang kuat bak tentara raja. Jasad, yang notabene pelaksana arahan hati dan akal seperti rakyat jelata yang siap diatur oleh kedua pihak tersebut.