Rabu, 11 April 2012

Sang Khalifah dan God’s Pharmachopoeia


Sebagai khalifatullah fil ardh, manusia diperintahkan untuk berjalan di muka bumi yang sangat luas ini. Perintah ini bukan tanpa alasan. Sebagai wakil Allah di bumi, sang khalifah ditugaskan untuk menebar kebaikan dimanapun ia berada dan memberantas keburukan dimanapun kakinya berpijak. Tantangan untuk melaksanakan tugas amar ma’ruf nahi munkar semakin berat dirasakan tatkala sang khalifah berada dalam dimensi waktu dan ruang yang berbeda. Tantangan yang ia hadapi tak hanya di seputar sangkar emas kediamannya saja, tetapi lebih luas dari itu yaitu di tiap tempat ia menghentikan langkah.

Hidup dalam dimensi waktu dan tempat berbeda, menuntut sang khalifah untuk berpikir cerdas dalam mengidentifikasi lingkungan dimana ia menghentikan langkah. Termasuk menebar kebaikan dan memberantas keburukan apa yang mesti ia laksanakan. Tak ketinggalan pula bagaimana strateginya dalam melaksanakan tugas kekhalifahan itu. Dalam mengemban amanah yang ditugaskan kepadanya, terkadang ia merasa gelisah dengan hasil yang diperolehnya. Tak satupun manusia di hadapannya mendengar apa yang disampaikannya. Untuk itulah sang khalifah terus berbenah diri. 

Khalifah juga manusia. Tak ada yang menyangka ia bisa merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Setiap kali ia rasakan  langkahnya salah, ia pun berhenti sebentar. Menengok ke kanan dan ke kiri sebelum ia memulai lagi langkahnya. Pemberhentian itu terkadang tak hanya sebentar. Ia harus juga bertarung dengan dirinya sendiri tatkala otaknya mulai menghasilkan suatu zat yang disebut dengan dopamin. Zat semacam ini dihasilkan kelenjar otaknya tatkala sang khalifah tak lagi memandang segala sesuatu secara positif. Bahkan pada tingkat terparah, ia mengatai dirinya sendiri sebagai seorang ‘fatalistik pesimistik’. Ketika si fatalistik pesimistik ini terus terlarut dalam kegelisahannya, ia tak sadar bahwa semakin banyak zat dopamin yang terakumulasi di dalam otaknya. Ia pun tak menyadari bahwa semakin jauh ia memandang segala sesuatu secara negatif, semakin meningkat kegalauannya, semakin stress pikirannya, maka akan semakin terganggu emosi, ingatan, dan aktivitas motoriknya. Bahkan dalam jangka yang sangat lama, ia akan semakin dekat pada apa yang sering dikatakan orang sebagai penyakit dementia atau alzheimer.
 
Lalu bagaimana si fatalistik pesimistik harus kembali bangkit menjadi seorang khalifah yang siap mengemban tugasnya kembali? Untuk mampu bangkit, sang khalifah haruslah terlebih dahulu menghapus segala zat-zat buruk yang telah terakumulasi di dalam otaknya. Dopamin hanya dapat dihilangkan tatkala ia telah dikuasai oleh zat rivalnya yang bernama endorfin. Zat macam ini secara alamiah akan dihasilkan kelenjar otak tatkala ia memandang kehidupannya dengan positif. Endorfin akan membuat dendrit-dendrit saraf otak sang khalifah menjadi saling terhubung. Dan ini akan menghindarkannya dari penyakit pikun termasuk saat ia memasuki masa tuanya nanti. 

Itulah zat ciptaaan Allah yang dianugerahkan dalam otak setiap khalifah yang diutusNya. Sang khalifah harus selalu bangkit untuk berpikir secara positif agar ia produktif dalam menghasilkan endorfin. Barangkali dengan tersadarnya ia bahwa God’s Pharmachopoeia ada dalam dirinya, ia tak lagi memandang segala sesuatu secara buruk. Sang khalifah perlu berpikir bahwa segala permasalahan yang timbul dalam tugas kekhalifahannya hanyalah disebabkan karena ia salah dalam memandang hal yang sebenarnya bukan masalah itu. Untuk itu, tidak seharusnya sang khalifah berhenti terlalu lama dan terbengong-bengong oleh tantangan yang ada di depannya. Karena waktu yang ia punya tidaklah banyak, sementara ia harus segera pulang di waktu yang telah ditentukan oleh Tuhan yang mengutusnya.

0 komentar:

Posting Komentar